Novel Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat:
Kelokalan Jawa dalam Narasi Sejarah Versi Kaum Minoritas
Puji Retno Hardiningtyas
Balai Bahasa Denpasar
ruwetno@yahoo.co.id
Abstrak
Dalam sejarah pemikiran dan polemik kebudayaan yang panjang di masa lalu, ternyata telah begitu jauh bersinggungan dengan sisi sensitif nasionalisme dan kejatidirian kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa. Salah satunya terwujud pada sastra yang memperlihatkan bentuk struktural dari situasi historis, yaitu novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, Centhini karya Sunardian Wirodono, dan Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani. Dalam konteks itu, ketiga novel tersebut merupakan novel sejarah yang bersumber dari Babad Tanah Jawi (Roro Mendut), Babad Tanah Jawi dan Babad Demak (Madam Kalinyamat), dan Serat Centhini (Centhini). Konklusi harapan besar dari komitmen sejarah membuka pemahaman bagi pembaca awam sebab budayanya dapat mempertahankan kelestarian ‘seperangkat mitologi’ penuh daya pengaruh yang dapat menyusup ke dalam liku masyarakat Jawa. Unsur-unsur sejarah ditunjukkan dengan memunculkan tokoh-tokoh—yang berdasar sumber lain diakui sebagai pelaku—sejarah dan peristiwa-peristiwa sejarah, seperti Hadiwijaya, Sultan Agung, dan Panembahan Senapati. Bahkan, tokoh wanita, seperti Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, Tambangraras, Centhini, Ratu Kalinyamat, dan Sarindil merupakan tokoh-tokoh yang berperan dalam sejarah Jawa, bahkan hidup dalam adat dan budaya Jawa. Berdirinya kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram merupakan peristiwa sejarah yang tidak mungkin dipungkiri.
Dengan segala kekhasannya, Y.B. Mangunwijya, Sunardian Wirodono, dan Zhaenal Fanani merekam situasi dan dinamika budaya masyarakat Jawa. Berbagai macam ungkapan budaya Jawa terekam dalam berbagai genre dan bentuk karya sastranya. Betapa menyaksikan secara konkret bahwa selama ini telah terjadi paradigma ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh masyarakat Jawa, khususnya perempuan kala itu dan para penguasa yang dikalahkan oleh penguasa lainnya dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Dalam hal ini, kaukus problematika yang terjadi di antaranya disebabkan: pertama, sikap perempuan Jawa dalam memaknai eksistensi kebudayaan diri perlu direvitalisasi; kedua, sikap laki-laki yang telah demikian memaksakan dan melegitimasi posisi dirinya sebagai ordinat hegemoni bagi semesta kebudayaan Jawa, dalam hal ini maknanya secara substansial, sebenarnya adalah potret dari pemimpin keluarga Jawa; dan ketiga, ketidakadilan yang harus ditanggung turunan penguasa kerajaan yang kalah dalam peperangan sehingga muncul penguasa-penguasa baru yang melahirkan kerjaan-kerajaan baru di Jawa. Perdebatan yang timbul dalam paradigma multikulturalisme melahirkan sebuah pertanyaan: sejarah dan kebenaran versi manakah yang akan didengar, versi kaum mayoritas atau minoritas? Narasi macam apa yang disuarakan tokoh kaum minoritas? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab melalui telaah novel Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat sebagai bentuk kekuatan budaya bangsa yang multilingual.
Kata kunci: budaya Jawa, sejarah, eksistensialisme religius, Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat
Kelokalan Jawa dalam Narasi Sejarah Versi Kaum Minoritas
Puji Retno Hardiningtyas
Balai Bahasa Denpasar
ruwetno@yahoo.co.id
Abstrak
Dalam sejarah pemikiran dan polemik kebudayaan yang panjang di masa lalu, ternyata telah begitu jauh bersinggungan dengan sisi sensitif nasionalisme dan kejatidirian kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa. Salah satunya terwujud pada sastra yang memperlihatkan bentuk struktural dari situasi historis, yaitu novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, Centhini karya Sunardian Wirodono, dan Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani. Dalam konteks itu, ketiga novel tersebut merupakan novel sejarah yang bersumber dari Babad Tanah Jawi (Roro Mendut), Babad Tanah Jawi dan Babad Demak (Madam Kalinyamat), dan Serat Centhini (Centhini). Konklusi harapan besar dari komitmen sejarah membuka pemahaman bagi pembaca awam sebab budayanya dapat mempertahankan kelestarian ‘seperangkat mitologi’ penuh daya pengaruh yang dapat menyusup ke dalam liku masyarakat Jawa. Unsur-unsur sejarah ditunjukkan dengan memunculkan tokoh-tokoh—yang berdasar sumber lain diakui sebagai pelaku—sejarah dan peristiwa-peristiwa sejarah, seperti Hadiwijaya, Sultan Agung, dan Panembahan Senapati. Bahkan, tokoh wanita, seperti Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, Tambangraras, Centhini, Ratu Kalinyamat, dan Sarindil merupakan tokoh-tokoh yang berperan dalam sejarah Jawa, bahkan hidup dalam adat dan budaya Jawa. Berdirinya kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram merupakan peristiwa sejarah yang tidak mungkin dipungkiri.
Dengan segala kekhasannya, Y.B. Mangunwijya, Sunardian Wirodono, dan Zhaenal Fanani merekam situasi dan dinamika budaya masyarakat Jawa. Berbagai macam ungkapan budaya Jawa terekam dalam berbagai genre dan bentuk karya sastranya. Betapa menyaksikan secara konkret bahwa selama ini telah terjadi paradigma ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh masyarakat Jawa, khususnya perempuan kala itu dan para penguasa yang dikalahkan oleh penguasa lainnya dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Dalam hal ini, kaukus problematika yang terjadi di antaranya disebabkan: pertama, sikap perempuan Jawa dalam memaknai eksistensi kebudayaan diri perlu direvitalisasi; kedua, sikap laki-laki yang telah demikian memaksakan dan melegitimasi posisi dirinya sebagai ordinat hegemoni bagi semesta kebudayaan Jawa, dalam hal ini maknanya secara substansial, sebenarnya adalah potret dari pemimpin keluarga Jawa; dan ketiga, ketidakadilan yang harus ditanggung turunan penguasa kerajaan yang kalah dalam peperangan sehingga muncul penguasa-penguasa baru yang melahirkan kerjaan-kerajaan baru di Jawa. Perdebatan yang timbul dalam paradigma multikulturalisme melahirkan sebuah pertanyaan: sejarah dan kebenaran versi manakah yang akan didengar, versi kaum mayoritas atau minoritas? Narasi macam apa yang disuarakan tokoh kaum minoritas? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab melalui telaah novel Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat sebagai bentuk kekuatan budaya bangsa yang multilingual.
Kata kunci: budaya Jawa, sejarah, eksistensialisme religius, Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat
Komentar