Kakawin Nāgara K.rtagama sebagai Model
Penulisan Sastra Sejarah Masa Keemasan Majapahit
Puji Retno Hardiningtyas
Balai Bahasa Denpasar
ruwetno@yahoo.co.id
Abstrak
Kakawin Dēśa Warņnana athawi Nāgara K.rtagama: Masa Keemasan Majapahit merupakan karya sastra sejarah gubahan Mpu Prapanca, pujangga besar di masa kejayaan Kerajaan Majapahit sekitar 700 tahun yang lalu. Kakawin Nāgara K.rtagama hancur bersama runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Namun, kemungkinan ada yang sempat menyelamatkan ke Bali, disalin di Desa Kamalasana dan salinannya disimpan di Gria Pidada, Karangasem, Bali. Selain itu, salinan satunya ada di Puri Cakra Nagara, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat pasukan Belanda menyerbu Lombok tahun 1894 ditemukanlah naskah tersebut dan diberi catatan oleh C.C. Berg menjadi Nāgara K.rtagama. Sesuai dengan etimologi istilahnya, aturan-aturan pembaitan atau metrum kakawin merupakan adaptasi metrum kawya (puisi India). Para kawi ‘penyair’ (Jawa kuno) memiliki sanggit ‘kreativitas’ untuk mengembangkan kakawin sebagai tradisi. Aturan metrum tersebut berupa 1) jumlah suku kata tiap baris yang cenderung sama untuk baris dalam satu bait, 2) bait dalam satu bait dalam satu pupuh memiliki jumlah baris yang sama, dan 3) wirama menggunakan pola guru laghu ‘bunyi vokal panjang dan bunyi vokal pendek dalam suku kata’ yang berlaku untuk tiap baris dan bait yang ditandai – (guru) dan ﮟ (laghu). Runtuhnya Majapahit secara politis menegaskan surutnya pengaruh India. Bersamaan dengan itu, cipta sastra kakawin pun semakin surut, meskipun belum padam sama sekali. Sampai dengan menjelang akhir abad XVI masih ada karya sastra Jawa kuno, yakni Haricraya, yang ditulis tahun 1574 Masehi. Runtuhnya Majapahit sebagai pusat kekuatan politik disebabkan oleh beberapa hal, satu di antaranya semakin luasnya agama Islam di pantai-pantai utara Jawa dan dianut para penguasa wilayah pantai. Sudah menjadi aksioma bahwa bahasa di dalam wacana sastra memiliki aturan yang sedikit ataupun banyak berbeda dengan bahasa dalam fungsi utamanya sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Sayangnya, dalam hal wacana kakawin tidak ada perbandingan dengan bahasa Jawa kuno yang digunakan sebagai sarana komunikasi masyarakatnya sehari-hari. Kebanyakan wacana kakawin bersifat naratif. Kisahan kakawin pun hadir dalam sistem sastra melalui berbagai sarana, yang dalam terminologi sastra lazim disebut aspek verbal. Narasi tidak hadir dengan sendirinya, tetapi dihadirkan oleh pencerita atau subjek pengujaran: si pengarang atau subjek yang lain. Persoalan ini muncul karena pada manggala atau epilog beberapa kakawin secara tersurat menyebutkan nama pengarang, termasuk Nāgara K.rtagama menyebut Mpu Prapanca sebagai penulisnya. Subjek ujaran sudah barang tentu bergantung pada bagaimana sikap pandang terhadap karya sastra: sebagai karya ekspresif atau teks yang otonom. Namun, bagaimanapun masalah tersebut sebaiknya didasarkan pada kenyataan teks sebagai wacana naratif yang memiliki matra fiksi. Kebanyakan subjek pengujaran wacana kakawin berada di luar cerita dan bertindak sebagai pencerita ekstern. Bahkan, Nāgara K.rtagama yang merupakan laporan perjalanan pun pencerita berada di luar kisahan yang dihadirkannya. Ditinjau dari isinya, wacana kakawin ini berbeda dengan wacana kakawin lainnya dan agaknya merupakan “cikal bakal” genre babad dalam tradisi sastra Jawa tahapan berikutnya. Sayang, kepeloporan Mpu Prapanca tidak diikuti oleh pejangga lain sehingga tidak ada kakawin yang menggunakan model Nāgara K.rtagama.
Kata kunci: kakawin, estetika, struktur, dan Nāgara K.rtagama
Penulisan Sastra Sejarah Masa Keemasan Majapahit
Puji Retno Hardiningtyas
Balai Bahasa Denpasar
ruwetno@yahoo.co.id
Abstrak
Kakawin Dēśa Warņnana athawi Nāgara K.rtagama: Masa Keemasan Majapahit merupakan karya sastra sejarah gubahan Mpu Prapanca, pujangga besar di masa kejayaan Kerajaan Majapahit sekitar 700 tahun yang lalu. Kakawin Nāgara K.rtagama hancur bersama runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Namun, kemungkinan ada yang sempat menyelamatkan ke Bali, disalin di Desa Kamalasana dan salinannya disimpan di Gria Pidada, Karangasem, Bali. Selain itu, salinan satunya ada di Puri Cakra Nagara, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat pasukan Belanda menyerbu Lombok tahun 1894 ditemukanlah naskah tersebut dan diberi catatan oleh C.C. Berg menjadi Nāgara K.rtagama. Sesuai dengan etimologi istilahnya, aturan-aturan pembaitan atau metrum kakawin merupakan adaptasi metrum kawya (puisi India). Para kawi ‘penyair’ (Jawa kuno) memiliki sanggit ‘kreativitas’ untuk mengembangkan kakawin sebagai tradisi. Aturan metrum tersebut berupa 1) jumlah suku kata tiap baris yang cenderung sama untuk baris dalam satu bait, 2) bait dalam satu bait dalam satu pupuh memiliki jumlah baris yang sama, dan 3) wirama menggunakan pola guru laghu ‘bunyi vokal panjang dan bunyi vokal pendek dalam suku kata’ yang berlaku untuk tiap baris dan bait yang ditandai – (guru) dan ﮟ (laghu). Runtuhnya Majapahit secara politis menegaskan surutnya pengaruh India. Bersamaan dengan itu, cipta sastra kakawin pun semakin surut, meskipun belum padam sama sekali. Sampai dengan menjelang akhir abad XVI masih ada karya sastra Jawa kuno, yakni Haricraya, yang ditulis tahun 1574 Masehi. Runtuhnya Majapahit sebagai pusat kekuatan politik disebabkan oleh beberapa hal, satu di antaranya semakin luasnya agama Islam di pantai-pantai utara Jawa dan dianut para penguasa wilayah pantai. Sudah menjadi aksioma bahwa bahasa di dalam wacana sastra memiliki aturan yang sedikit ataupun banyak berbeda dengan bahasa dalam fungsi utamanya sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Sayangnya, dalam hal wacana kakawin tidak ada perbandingan dengan bahasa Jawa kuno yang digunakan sebagai sarana komunikasi masyarakatnya sehari-hari. Kebanyakan wacana kakawin bersifat naratif. Kisahan kakawin pun hadir dalam sistem sastra melalui berbagai sarana, yang dalam terminologi sastra lazim disebut aspek verbal. Narasi tidak hadir dengan sendirinya, tetapi dihadirkan oleh pencerita atau subjek pengujaran: si pengarang atau subjek yang lain. Persoalan ini muncul karena pada manggala atau epilog beberapa kakawin secara tersurat menyebutkan nama pengarang, termasuk Nāgara K.rtagama menyebut Mpu Prapanca sebagai penulisnya. Subjek ujaran sudah barang tentu bergantung pada bagaimana sikap pandang terhadap karya sastra: sebagai karya ekspresif atau teks yang otonom. Namun, bagaimanapun masalah tersebut sebaiknya didasarkan pada kenyataan teks sebagai wacana naratif yang memiliki matra fiksi. Kebanyakan subjek pengujaran wacana kakawin berada di luar cerita dan bertindak sebagai pencerita ekstern. Bahkan, Nāgara K.rtagama yang merupakan laporan perjalanan pun pencerita berada di luar kisahan yang dihadirkannya. Ditinjau dari isinya, wacana kakawin ini berbeda dengan wacana kakawin lainnya dan agaknya merupakan “cikal bakal” genre babad dalam tradisi sastra Jawa tahapan berikutnya. Sayang, kepeloporan Mpu Prapanca tidak diikuti oleh pejangga lain sehingga tidak ada kakawin yang menggunakan model Nāgara K.rtagama.
Kata kunci: kakawin, estetika, struktur, dan Nāgara K.rtagama
Komentar
Grand Canyon Casino is open 광명 출장마사지 24 수원 출장마사지 hours a day, 7 days a 대전광역 출장샵 week. All 도레미시디 출장샵 other casino amenities and services in Grand 춘천 출장마사지 Canyon have been thoroughly remodeled.