Langsung ke konten utama

Kakawin Nāgara K.rtagama sebagai Model Penulisan Sastra Sejarah Masa Keemasan Majapahit

Puji Retno Hardiningtyas

Abstrak

Kakawin Dēśa Warņnana athawi Nāgara K.rtagama: Masa Keemasan Majapahit merupakan karya sastra sejarah gubahan Mpu Prapanca, pujangga besar di masa kejayaan Kerajaan Majapahit sekitar 700 tahun yang lalu. Kakawin Nāgara K.rtagama hancur bersama runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Namun, kemungkinan ada yang sempat menyelamatkan ke Bali, disalin di Desa Kamalasana dan salinannya disimpan di Gria Pidada, Karangasem, Bali. Selain itu, salinan satunya ada di Puri Cakra Nagara, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat pasukan Belanda menyerbu Lombok tahun 1894 ditemukanlah naskah tersebut dan diberi catatan oleh C.C. Berg menjadi Nāgara K.rtagama. Sesuai dengan etimologi istilahnya, aturan-aturan pembaitan atau metrum kakawin merupakan adaptasi metrum kawya (puisi India). Para kawi ‘penyair’ (Jawa kuno) memiliki sanggit ‘kreativitas’ untuk mengembangkan kakawin sebagai tradisi. Aturan metrum tersebut berupa 1) jumlah suku kata tiap baris yang cenderung sama untuk baris dalam satu bait, 2) bait dalam satu bait dalam satu pupuh memiliki jumlah baris yang sama, dan 3) wirama menggunakan pola guru laghu ‘bunyi vokal panjang dan bunyi vokal pendek dalam suku kata’ yang berlaku untuk tiap baris dan bait yang ditandai – (guru) dan ﮟ (laghu). Runtuhnya Majapahit secara politis menegaskan surutnya pengaruh India. Bersamaan dengan itu, cipta sastra kakawin pun semakin surut, meskipun belum padam sama sekali. Sampai dengan menjelang akhir abad XVI masih ada karya sastra Jawa kuno, yakni Haricraya, yang ditulis tahun 1574 Masehi. Runtuhnya Majapahit sebagai pusat kekuatan politik disebabkan oleh beberapa hal, satu di antaranya semakin luasnya agama Islam di pantai-pantai utara Jawa dan dianut para penguasa wilayah pantai. Sudah menjadi aksioma bahwa bahasa di dalam wacana sastra memiliki aturan yang sedikit ataupun banyak berbeda dengan bahasa dalam fungsi utamanya sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Sayangnya, dalam hal wacana kakawin tidak ada perbandingan dengan bahasa Jawa kuno yang digunakan sebagai sarana komunikasi masyarakatnya sehari-hari. Kebanyakan wacana kakawin bersifat naratif. Kisahan kakawin pun hadir dalam sistem sastra melalui berbagai sarana, yang dalam terminologi sastra lazim disebut aspek verbal. Narasi tidak hadir dengan sendirinya, tetapi dihadirkan oleh pencerita atau subjek pengujaran: si pengarang atau subjek yang lain. Persoalan ini muncul karena pada manggala atau epilog beberapa kakawin secara tersurat menyebutkan nama pengarang, termasuk Nāgara K.rtagama menyebut Mpu Prapanca sebagai penulisnya. Subjek ujaran sudah barang tentu bergantung pada bagaimana sikap pandang terhadap karya sastra: sebagai karya ekspresif atau teks yang otonom. Namun, bagaimanapun masalah tersebut sebaiknya didasarkan pada kenyataan teks sebagai wacana naratif yang memiliki matra fiksi. Kebanyakan subjek pengujaran wacana kakawin berada di luar cerita dan bertindak sebagai pencerita ekstern. Bahkan, Nāgara K.rtagama yang merupakan laporan perjalanan pun pencerita berada di luar kisahan yang dihadirkannya. Ditinjau dari isinya, wacana kakawin ini berbeda dengan wacana kakawin lainnya dan agaknya merupakan “cikal bakal” genre babad dalam tradisi sastra Jawa tahapan berikutnya. Sayang, kepeloporan Mpu Prapanca tidak diikuti oleh pejangga lain sehingga tidak ada kakawin yang menggunakan model Nāgara K.rtagama.
Kata kunci: kakawin, estetika, struktur, dan Nāgara K.rtagama



1. Pendahuluan
Secara garis besar, berdasarkan penggunaan bahasanya, sastra Jawa dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu sastra Jawa kuno, sastra Jawa tengahan, dan sastra Jawa baru. Sastra Jawa kuno adalah sastra Jawa—dengan menggunakan bahasa Jawa kuno sebagai penyampaian—sejak ditulisnya Kakawin Ramayana sampai akhir abad XVI ketika sastra Islam semakin mewarnai sastra Jawa (Zoetmulder, 1985:46). Sastra Jawa tengahan merupakan sastra Jawa dengan bahasa Jawa pertengahan sebagai wahana penyampaian, muncul akhir Majapahit dan berkembang pada periode sastra Jawa-Bali (Ibid, hlm. 26 dalam Saputra, 2005:33). Sementara itu, sastra Jawa baru adalah sastra Jawa dengan bahasa Jawa baru sebagai sarana ungkap, muncul sejajar dengan sastra Jawa tengahan dan berlangsung hingga sekarang. Menurut Ras (1985:3 dalam Saputra, 2005:33), sastra Jawa baru dibagi menjadi dua bagian, yaitu sastra Jawa tradisional dan sastra Jawa gagrag anyar (modern).
Sastra Jawa kuno, secara sadar atau tidak merupakan cermin dari keadaan budaya Jawa pada masa itu. Hampir seluruh aspek kesastraan Jawa kuno berasal dari India. Prosidi kakawin merupakan contoh kuat pengaruh India dalam dunia sastra Jawa. Istilah kakawin—berasal dari kata kawi (bahasa Sanskerta, berarti penyair atau pujangga) dan konflik Jawa ka-an—sudah mencerminkan hal itu. Kawya (bahasa Sanskerta, berarti syair atau puisi) merupakan bentuk puisi India yang mempunyai aturan berkaitan dengan vokal yang dibaca panjang dan vokal yang dibaca pendek sesuai dengan sifat bahasa Sanskerta. Ketika kawya “diimpor” ke Jawa—dan dikenal dengan nama kakawin—diupayakan penyesuaian (baca:konvensi) pada bahasa Jawa kuno yang sesungguhnya tidak mengenal vokal panjang dan vokal pendek.
Teks-teks sastra Jawa kuno yang tergolong tua --termasuk wacana kakawin—berinduk pada teks-teks dari India sehingga “tidak menceritakan hal tanah Jawa, kecuali yang ada hubungannya dengan raja yang disebutkan namanya.” Yang dimaksud oleh Poerbatjaraka “tidak menceritakan hal tanah Jawa” dalam terminologi sastra adalah latar tempat dan latar sosial narasi. Hal itu berubah pada wacana-wacana yang diciptakan sejak periode Majapahit. Selain narasinya yang sebagian sudah tidak bersumber pada teks-teks India, setidak-tidaknya bukan merupakan sumber pertama, beberapa unsur objek pengujaran—terutama latar tempat—sudah bersuasana Jawa (Poerbatjaraka, 1957:37 dalam Saputra, 2001:182).
Pengaruh kebudayaan India dalam kebudayaan Jawa perlahan surut dari permukaan, tetapi tetap membekas dalam bentuk akulturasi. “Kesadaran kejawaan” pun perlahan menyibak. Kesadaran kejawaan juga terlihat dalam karya sastra, misalnya dalam Nāgara K.rtagama. Namun, Nāgara K.rtagama masih menggunakan prosodi kakawin. Kakawin Nāgara K.rtagama memiliki perbedaan dengan karya sebelumnya, yaitu berupa laporan perjalanan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, yang beranjangsana ke daerah-daerah di Jawa Timur (sekarang).
Kakawin Nāgara K.rtagama berkisah tentang runtuhnya kerajaan Majapahit. Secara politik menegaskan surutnya pengaruh India. Runtuhnya Majapahit sebagai pusat kekuatan politik disebabkan oleh beberapa hal, satu di antaranya semakin luasnya agama Islam di pantai-pantai utara Jawa dan dianut para penguasa wilayah pantai.
Karya sastra kakawin ini berbentuk lontar berjudul Kakawin Dēśa Warņnana athawi Nāgara K.rtagama ‘Nyanyian Nāgara K.rtagama’ milik Museum Mpu Tantular, Jalan Raya Buduran, Jembatan Layang, Kabupaten Sidoarjo. Karya sastra ini disalin oleh Ida I Dewa Gde Catra. Namun, yang menarik dari kakawin Nāgara K.rtagama ini memiliki keunikan yang menarik untuk dikaji. Dengan mengambil terminologi kakawin, dalam Nāgara K.rtagama tersimpan ciri khas dari penulisan Prapanca, sebagai seorang penulis. Ciri khas dari kepenulisan kakawin Nāgara K.rtagama oleh Mpu Prapanca, antara lain, sifat kesastraannya dan dalam sastra Jawa kuno karya ini merupakan karya yang adiluhung.

2. Telaah Kakawin
Istilah Jawa kuno yang digunakan untuk menyebut dan memberi nama kepada suatu bahasa (sastra) pernah tumbuh dan berkemmbang di Jawa sekitar abad ke-9 sampai dengan abad ke-15 (Zoetmulder, 1985:21—25). Dengan demikian, puisi Jawa kuno adalah ragam sastra berbahasa Jawa kuno yang diikat irama, matra, rima, dan penyusunan larik dan bait. Dalam bahasa kuno sendiri, ragam sastra yang disebut puisi Jawa kuno dinamakan kakawin (Suarka, 2009:1).
Kakawin dipengaruhi oleh tradisi kāvya di India. Akan tetapi, kakawin dalam banyak segi berbeda dengan kāvya. Kakawin mengembangkan satu bentuk dengan ciri-cirinya sendiri. Ada kemungkinan prosodi tertentu diikuti dalam perkembangan praktik kakawin, baik di Jawa maupun di Bali. Sementara itu, Zoetmulder (1985:120—121) berpendapat bahwa pada umumnya, kecuali kaidah-kaidah metris yang berlaku untuk sebuah kakawin sama dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam persajakan Sanskerta, seperti dipakai dalam kāvya dengan ciri-ciri berikut. Sebuah bait terdiri atas empat baris, sedangkan masing-masing baris, meliputi jumlah suku kata yang sama, disusun menurut pola metris yang sama. Menurut pola tersebut kuantitas setiap suku kata—panjang atau pendeknya—ditentukan oleh tempatnya dalam baris beserta syarat-syaratnya; dan sebuah suku kata dianggap panjang bila mengandung sebuah vokal panjang (ā, i, u, o, e, o, ai) dan bila sebuah vokal pendek disusul oleh lebih dari satu konsonan. Suku kata terakhir dalam setiap baris dapat bersifat panjang atau pendek (anceps). Berbagai macam pola metrum ini dipakai dalam puisi Jawa kuno, masing-masing dengan namanya sendiri.
Sependapat dengan Zoutmulder, Suarka (2009:5—6) berpendapat bahwa puisi Jawa kuno (kakawin) mempunyai ciri berikut. Pertama, kakawin terdiri atas beberapa bait yang berturut-turut memakai metrum yang sama dalam satu pupuh. Tidak ada ketentuan mengenai jumlah bait yang terkumpul dalam satu pupuh. Kedua, satu bait kakawin umumnya terdiri atas empat baris. Akan tetapi, ada pula bait kakawin terdiri atas tiga baris yang lazim dinamakan rahitiga. Masing-masing baris memiliki nama dan fungsi, yaitu baris pertama dinamakan pangawit berfungsi sebagai awal bait dan menjadi patokan dasar nada dalam penembangan bait tersebut. Baris kedua dinamakan pangentěr atau mingsalah inilah tidak ada dalam bait-bait kakawin yang terdiri atas tiga baris (rahitiga). Baris ketiga disebut pangumbang berfungsi sebagai baris rendah nada dalam keadaan penyeimbang pertautan nada dengan tinggi rendah nada dalam keadaan seimbang dan berfungsi menandai bait akan berakhir. Baris keempat disebut pamada berfungsi mengakhiri bait. Ketiga, masing-masing baris disusun menurut perhitungan jumlah suku kata. Adapun jumlah suku kata dalam baris adakalanya sama, tetapi bisa juga berbeda. Keempat, masing-masing baris disusun menurut pola metris, yaitu kuantitas setiap suku kata panjang atau suku kata pendek ditentukan oleh tempatnya dalam baris dan syarat-syaratnya. Pola metris masing-masing baris umumnya sama, tetapi juga berbeda. Suku kata terakhir dalam setiap baris dapat bersifat panjang ataupun pendek (anceps). Kelima, umumnya kakawin merupakan buah hasil puisi keraton, sebuah syair yang pada pokoknya bersifat epis, yang coraknya agak dibuat-buat (artifisial). Namun, ciri yang kelima ini, sedikit berbeda tidak ditemukan dalam kakawin Nāgara K.rtagama.

3. Estetika Kakawin Nāgara K.rtagama
Sudah menjadi aksioma bahwa bahasa dalam wacana sastra memiliki aturan yang sedikit atau pun banyak berbeda dengan bahasa dalam fungsi utamanya sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Perbedaannya menyangkut hampir pada semua aspek gramatika. Sayangnya, dalam hal bahasa wacana kakawin tidak ada perbandingan dengan bahasa Jawa kuno yang dipergunakan sebagai sarana komunikasi sehari-hari di masyarakat pemiliknya. Hal tersebut terjadi karena tidak ada dokumnen mengenai situasi penggunaan sehari-hari Jawa kuno. Dokumentasi dalam bentuk lain berupa prasasti, yang dengan sendirinya meiliki kekhususan sehingga penerapan bahasanya pun bersifat khusus pula. Berbagai buku tata bahasa Jawa kuno yang ada pun didasarkan pada gejala bahasa dalam wacana sastra, baik puisi maupun prosa. Oleh karena itu, aspek kebahasaaan dalam hal ini merupakan estetika kakawin juga semata-mata bertumpu pada wacana kakawin yang ada, termasuk kakawin Nāgara K.rtagama (Saputra, 2001:167—168).
Berdasarkan pendapat Mulyana di atas, medium bahasa yang digunakan dalam sastra merupakan paduan etetika dalam karya sastra sebagai karya seni. Sementara itu, (Agustinus dalam Teeuw, 1988:348—349) paham estetika pada abad pertengahan ini tampak dianut dalam estetika sastra kakawin, termasuk dalam sastra Bali tradisional lainnya. Konsepsi estetik puisi Jawa kuno diketahui berkat studi Zoetmulder (1974), yaitu puisi bagi sang penyair adalah semacam yoga dan penyair sendiri adalah yogin. Yoga adalah usaha manusia untuk mencapai kesatuan dengan Dewa dan lewat kesatuan keagamaan itu manusia akhirnya mencapai moksa, kelepasan, pembebasan akhir dari rantai eksistensi.
Kakawin menjelmakan keindahan melalui bahasa, diciptakan wadah keindahan bagi Dewa Keindahan lewat kata dan bunyi yang sekaligus objek pemusatan pikiran, baik bagi penyair maupun pembaca dan pendengar kakawin itu. Namun, pendekatan estetik Jawa kuno, estetik tidak bersifat otonom; fungsi seni diabdikan pada fungsi agama; lewat seni manusia dihadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan dan manusia akan menghilangkan (kehilangan) diri dalam keagungan pesona itu (Teeuw, 1988:355—365 dalam Suarka, 2009:88). Estetika dalam kakawin Nāgara K.rtagama, meliputi religi dan keindahan sěkar, meskipun secara naratif kakawin ini berbeda dengan kakawin lainnnya.
Manu (1987:12 dalam Suarka, 2009:89) religi memegang peranan penting dalam kebudayaan. Seperti yang pendapat Christopher Dawson bahwa manusia tidak dapat memahami inti dari suatu bentuk masyarakat atau pun prestasi-prestasi budayanya tanpa memahami religi yang mendasari pemikirannya. Dalam kakawin Nāgara K.rtagama dikisahkan pula mengenai kematian Gajah Mada bahwa kematian merupakan proses pemisahan, tidak hanya pemisahan antara yang hidup dan yang meninggal, melainkan juga proses pemisahan antara raga dan jiwa (ätma). Istilah “yang hidup” dan “yang meninggal” itu tampak memiliki dua objek. Di satu pihak, istilah “yang hidup” mengacu pada anggota keluarga atau masyarakat yang ditinggalkan dan “yang meninggal” mengacu pada almarhum. Di pihak lain, istilah “yang hidup” dapat mengacu pada jiwa almarhum, sesuai dengan jiwa (ätma) yang kekal (nitya). Istilah “yang meninggal” mengacu pada raga atau badan orang yang ditinggalkan oleh jiwa itu, sesuai dengan sifat badan sebagai sesuatu yang selalu berubah-ubah. Pengesahan proses pemisahan itu, dalam rangkaian upacara kematian di Bali dikenal adanya upacara mapěpěgat, yaitu upacara yang dilakukan menjelang mayat diantar ke tempat penguburan atau pembakaran (Kaler, 1993:101).
Dalam kakawin Nāgara K.rtagama yang mengisahkan kematian, makam, dan Gajah Mada terdapat pada wirama 70—73 dan wirama 74—82. Untuk mengetahui lebih jelas, perhatikan kutipan berikut.
N.ratinumulih sangkē simping wawang dhatenging pura,
prihati tekapi gring sang mantryādi mantrī gajā mada,
rasika sahakārī wreddhyā waniring dangu,
ri badi ri sadhēng wyaktiny-antuk nikānayāken musuh. (wirama 70, Harini—17 suku kata, 276, Riana, 2009:341)


Terjemahan:
Baginda Raja kembali dari Simping segera tiba di istana,
Baginda sangat sedih karena Maha Patih Gajah Mada sakit,
Beliau ikut mencurahkan tenaga demi kebesaran Kerajaan Jawa dahulu,
Di Bali, Sadeng benar-benar berkat upaya beliau musuh dapat dimusnakan.

Kutipan di atas terjadi pada tahun 1336 Masehi (analā.s.tānah—1285) ketika Raja Rajasa Nagara berkunjung ke Candi Simping dan berencana memperbaiki arca yang rusak. Sekembalinya dari Candi Simping, Beliau mendapati Sang Patih Gajah Mada sedang sakit. Maha Patih Gajah Mada mulai bertugas tahun 1321 Masehi (saka tryanginina—1253). Raja Rajasa Nagara amat sedih dan terharu, bahkan putus asa dan merasa berutang besar pada Maha Patih Gajah Mada karena penundukan Sadeng dan penguasaan Bali adalah jasa besar Maha Patih Gajah Mada. Patih Majapahit ini sangat diagungkan dan dimuliakan, tidak tercela, bijaksana, dan tutur katanya amat halus dan Gajah Mada wafat tahun saka 1286 (rasatunwina—1364).
Sementara itu, ada fakta lain juga amat membingungkan, Maha Patih Amangku Bhumi Gajah Mada meninggal tahun saka 1290—1368 Masehi (Padmapuspita, 1966:39), sedangkan peristiwa Bubad yang tidak disebut dalam karya Mpu Prapanca dengan harapan bahwa Raja Rajasa Nagara yang amat mulya dan diagungkan tanpa celah. Dengan demikian, untuk sementara pendapat (Mulyana, 1979:324; 2006:340) secara konsep benar hanya ada kekeliruan penafsiran kata.
Sistem religi dalam kakawin Nāgara K.rtagama memang tidak dijelaskan secara mendetail seperti pada Kakawin Aji Palayon. Pada teks awal teka Kakawin Aji Palayon dijelaskan proses pemisahan antara raga dan jiwa disertai rasa kasih sang Atma kepada raga yang ditingalkannya. Meskipun tidak dijelaskan dalam kakawin Nāgara K.rtagama, proses kematian dan hidup tidak kekal juga disuratkan dalam kakawin tersebut.
Tryanginina saka purwwa rasikan pamangkwakeni sabwating sabhuwana,
pejahirika sakabdha rasa tan winasa nara natha mar salahasa,
tuhunika diwyacitta tan satresna masihing samasta bhuwana,
hatuturi tatwaning dadinanitya punya juga tang ginong pratidina. (wirama 71, aswalalita—23 suku kata, 279, Riana, 2009:344)

Terjemahan:
Pada tahun saka tryanginina—1253 (1331 Masehi) beliau mulai mengemban tanggung jawab berat dalam negeri,
meninggal pada tahun saka rasa tan winasa—1286 (1364 masehi),
baginda raja berduka terharu, bahkan putu asa,
gajah mada sangat luhur budinya tidak pilih bulu menyanyangi seluruh negeri,
insyaf bahwa hidup ini tidak kekal sehingga amal juga yang dipikirkan dan dilaksanakan.

Umumnya seperti diketahu bahwa salah satu syarat yang harus ada dalam kakawin adalah keindahan alam. Salah satu sumber keindahan itu adalah pada bunga-bunga. Manu (1987:89 dalam Suarka, 2009:93) menjelaskan bahwa dalam kaitan bunga-bunga dengan keindahan ini tidak mustahil kiranya Dewa Kama senagai Dewa keindahan dihadirkan oleh sang kawi dalam berbagai sastra kakawin, tidak ketinggalan pula kakawin Nāgara K.rtagama. Keindahan alam tampak dideskripsikan untuk menggambarkan taman indah yang tersohor di pelosok negeri Majapahit yang dijumpai oleh Sang Baginda Raja ketika beranjangsana ke desa-desa kekuasaan Majaphit. Perhatikan bait berikut.
Lwirning dharmma karsyanika -/- nang sumpun rupit mwang pilan,
{38a} len tekang pucangan jagaddhita pawitra mwang gutun tan kasah,
kapwa teka hana pratista sabha len lingga pranala pupul,
mpungku sthapaka sang maha guru penengguhning sarat kottama. (wirama 78, Sardulawikridhita—19 suku kata, 302, Riana, 2009:368)

Terjemahan:
Desa-desa tempat karesian, yakni Sumpun, Rupit, dan Pilan,
lain pula pucangan, jagadhita, pawitra, tidak dilupakan butun,
di semua itu ada taman indah, lingga, dan saluran-saluran air,
pendeta Budha tersohor mahaguru di dunia amat mulia.

Kutipan di atas terlihat ada taman indah, lingga, dan saluran-saluran air oleh Mpu Prapanca disusun sebagai permainan bunyi dan estetika kakawin Nāgara K.rtagama. dilukiskan bahwa daerah-daerah kekuasaan Raja Majaphit begitu indah dan loh inawi. Tanah-tanah rakyat bebas pajak dan rakyat hidup aman dan sejahtera. Bahkan, keindahan keraton Majapahit yang digambarkan dengan mahaindah oleh Mpu Prapanca menunjukkan kemakmuran yang luar biasa pada masa itu. Berikut sedikit kutipan keindahan pelataran bagian dalam pintu kedua halamannya datar, luas, indah, dan asri penuh dengan bangunan serta ruang terbuka tempat orang-orang menghadap di istana, di timurnya sebuah banguan mengagumkan tinggi dan indah lengkap dengan peralatannya tempat Baginda Raja Majapahit menerima para penghadap.
Warnnan tingkahikang puradbhuta kuthanya bata bangumider makandel aluhur,
Kulwan dhidhwura waktra manghareaken lebuhagengi tengah wayedrana dalem,
Brahma sthana matunggalan pathani buddhi jajarinapi kapwa sok cara-cara,
Ngka tonggwan para tandha tan pegataganti kumemiti karaksaning pura sabha. (wirama 8, Widyukara—25 suku kata,22, Riana, 2009:74)

Terjemahan:
Dikisahkan istana sangat mengagumkan bertembok batu bata merah kukuh dan tinggi,
pintu barat, yakni Pura Waktra menghadap ke lapangan luas dilingkari aliran air (parit) yang dalam,
pohon beringin berkaki bodi berjajar ditata dengan berbagai ragam bentuk,
di sana tempat para petugas terus-menerus berganti-ganti menjaga keamanan balairung istana.

Lor tang gopura sobhita bhinawa kontenika wesi rinupaka parimita,
Wetan sandhingikarjja panggungaruhur patiga nika binajralepa maputih,
Kannah lor kiduling peken raketikang yasa wesasingapanjangadbhuta dahat,
Hangken caitra pahomaning bala samuha kidulika catus pata hyangahalep. (bait 23)

Terjemahan:
Di sebelah utara gapura cermelang menakjubkan dengan pintu besi berukir indah,
pada sisi timur panggung tinggi permai terasnya dilabur berwarna putih,
di bagian utara sebelah selatan pasar merapat bangunan yang amat panjang mengagumkan benar,
di sebelah selatan terdapat jalan simpang empat yang luas dan indah tempat berkumpul para prajurit setiap bulan (Maret-April)
Berdasarkan kutipan di atas tampak jelas bahwa keindahan Kerajaan Majapahit sangat mengagumkan sebagai gambaran kemakmuran dan kejayaan Majapahit pada pemerintahan Raja Rajasa Nagara. Menurut Kern dan Krom Nāgara K.rtagama merupakan suatu pujian terhadap Raja Rajasanagara. Di samping itu, keindahan bentuk dan alam keraton Majapahit juga dihadirkan oleh Prapanca pada wirama 8—12, yaitu bait 22—42 tepatnya menguraikan keindahan istana Majapahit bagai matahari dan bulan yang bersinar terang. Sekalipun terdapat beberapa bagian dalam kakawin Nāgara K.rtagama pantas disebut “panegerik” atau madah pujian, meskipun Mpu Prapanca memandang dirinya sebagai seorang di antara mereka (masyarakat) yang melambungkan pujian bagi sang raja. Di samping itu, bagi syairnya sendiri secara keseluruhan istilah tersebut tidak sesuai (Zoutmulder, 1985:444).

4. Struktur Formal dan Naratif Kakawin Nāgara K.rtagama
Pada dasarnya, struktur formal puisi Jawa kuno, kakawin adalah tata hubungan antara bagian-bagian atau pola struktural puisi Jawa kunoa (kakawin). Struktur formal puisi Jawa kuno teridentifikasi melalui unsur-unsur matra, larik, bait, dan pupuh. Unsur-unsur pembetuk matra adalah guru-laghu, wrětta, canda, dan gana. Dalam kakawin Nāgara K.rtagama mengunakan metrum secara lengkap 98 bagian, 41 irama, dan 386 bait (pada) dan 2 bait kolofon.
Berikut penggolongan kakawin Nāgara K.rtagama. pertama, wirama 1, pujian Sang Pujangga pada Raja Rajasa Nagara yang diandaikan sebagai titisan Dewa Giri Nata ke alam nyata, serta beberapa dewa lainnya; kedua, wirama 2—6 menguraikan kekerabatan Raja Rajasa Nagara, yaitu neneknya adalah Dyah Gayatri, ibunya Rani Kahuripan yang bersaudara dengan Rani Daha, Sang Raja mempunyai dua adik perempuan, serta keluarga lainnnya; ketiga, wirama 7, berisi pujian pada Raja Hayam Wuruk (rajasa Nagara); keempat, wirama 8—12, berisi keindahan istana Majapahit bagai matahari dan bulan bersinar terang; kelima, wirama 13—16, berisi wilayah jajahan dan negara sahabat yang berhubungan dengan Majapahit; keenam, wirama 17—55, menguraiakan perjalanan Baginda Raja Rajasa Nagara ke daerah sekitar, yaitu Lumajang, Pajang, Lasem, dan pantai selatan, serta diselipkan juga saat Baginda Raja berburu di Hutan Nandaka, lalu kembali ke istana (wirama 50—55); ketujuh, wirama 56—60 berisi tentang kunjungan Baginda Raja ke candi, makam, dan tiba di istana; kedelapan, wirama 61—62 berisi sembahyang ke Candi Simping dan akan memperbaiki candi; kesembilan, wirama 63—67 menceritakan upacara srada untuk arwah neneknya Dyah Gayatri; kesepuluh, wirama 68—69 berisi pembagian Kerajaan Erlangga oleh Mpu Bradah; kesebelas, wirama 70—73 berisi kembalinya Sang Raja dari Candi Simping dan mendapati Sang Patih Amangku Bhumi Gajah Mada sakit dan meninggal dunia; kedua belas, wirama 74—82 berisi candi makam, tanah perdikan, desa ke-Budhaan, desa ke-Siwaan, khususnya Jawa dan Bali; ketiga belas, wirama 83—84 mebgisahkan keagungan Raja Rajasa hingga banyak yang datang ke Mahapahit; keempat belas, wirama 85—92 berisi pertemuan bulan Caitra (Maret—April) untuk musyawarah penghormatan pada Baginda Raja; kelima belas, wirama 93—94 uraian keagungan Sang Raja Rajasa Nagara; dan keenam belas, wirama 95—98 berisi nasib sang pujangga yang dihinakan para brahmana), khususnya Siwa (Riana, 2009:29—30).
Di samping struktur formal kakawin, Nāgara K.rtagama memiliki struktur naratif , yaitu tata hubungan antara bagian-bagian naratif atau rangkaian pokok masalah dan tertib penyajian karya sastra kakawin. Adapun struktur naratif kakawin Nāgara K.rtagama yang pertama adalah manggala (bait-bait pembukaan dalam puisi kakawin. Unsur pembentuk manggala, meliputi pemujaan pengarang (sang kawi) kepada dewa pujaannya (istadewata); kedua, penghormatan pengarang (sang kawi) kepada raja pelindung; ketiga, penanggalan kakawin; keempat, nama pengarang (sang kawi); kelima, alasan dan proses kepengarangan sang kawi; keenam, tema kakawin, dan ketujuh, pernyataan rendah hati pengarang (sang kawi) (Suarka, 2009:51).
Kebanyakan wacana kakawin bersifat naratif dan hanya beberapa judul yang sampai pada pembaca dewasa ini yang bukan naratif, misalnya Dharmacunya, Nirarthaprakreta, dan Nitisastra. Seperti semua wacana naratif pada umumnnya, kisahan kakawin pun hadir dalam sistem sastra melalui berbagai sarana, yang dalam terminologi sastra lazim disebut sebagai aspek verbal (Saputra, 2001:173). Narasi tidak hadir dengan sendirinya, tetapi dihadirkan oleh pencerita atau subjek pengujaran: si pengarang atau subjek yang lain. Persoalan itu muncul karena pada manggala atau epilog beberapa wacana kakawin secara tersurat menyebutkan nama pengarang, misalnya Bharatayuddha menyebut Mpu Sedah sebagai penulis, Nāgara K.rtagama menyebut Mpu Prapanca sebagai penyair, dan Arjunawiwaha menyebut Mpu Kanwa sebagai penulis. Jalan keluar atas masalah subjek pengujaran sudah barang tentu bergantung pada bagaimana sikap pandang terhadap karya sastra: sebagai karya ekspresif atau sebagai teks yan otonom. Namun, bagaimanapun, masalah tersebut sebaiknya didasarkan pada kenyataan teks sebagai wacana naratif yang memiliki matra fiksi atau rekaan. Kebanyakan subjek pengujaran wacana kakawin berada di luar cerita dan bertindak sebagai pencerita akstern. Bahkan, Nāgara K.rtagama yang merupakan laopran perjalanan pun pencerita berada di luar kisahan yang dihadirkannya.
Berikut aspek kisahan dalam kakawin Nāgara K.rtagama yang disebut manggala dan kolofon. Manggala dan kolofon tidak bertaut dengan narasi yang disampaikan oleh pencerita, lebih mirip “pengantar” sehingga kedua hal itu sebaiknya dianggap bukan sebagai bagian dari wacana inti. Manggala dalam kakawin Nāgara K.rtagama dapat dilihat berikut ini.
1)
Ong nathaya namostute stuti ningatpada ri pada bhatara nityasa,
Sang suksmeng telenging samadhi siwa buddha sira sakala niskalatmaka,
Sang sri parwwata natha natha ninganatha sira ta patining jagatpati,
Sang hyang ning hyanginistya cintya ningacintya hana waya temah nireng jagat. (wirama 1, Jagaddhita—23 suku kata, Riana, 2009:51)
Terjemahan:
Sembah sujud hamba yang selalu memuja Paduka Duli Bhatara,
Yang meresap dalam semadi bagai Budha dan merupakan jiwa dunia akhirat,
Paduka sang Sri Parwata (Giri Pati) pelindung si nista dan rajanya Sang Hyang Jagatpati,
Paduka adalah raja sekalian dewa yang paling gaib menjadi kenyataan di atas dunia.
2)
Byapi byapaka sarwwa tatwa ghata nirguna sira ringapaksa wesnawa,
Ning yogi swara poruseng kapila jambhala sakala siran hyanging dhana,
Sri wagindra siran hyanging sakala sastra manasija sireng smaragama,
Ri wighnot sarana prayoga yamaraja sira maka phalang jagaddhita.
Terjemahan:
Menguasai tak terkuasa Beliau sangat rahasia dalam filosofi aliran Waisnawa,
Dalam yogi agung Beliu berhasil bagai Kapila Jambala—Dewa Kekayaan,
Sri Waginda (Sang Hyang Saraswati)—ilmu pengetahuan serta Dewa Mana Sija—Dewa Asmara,
Dewa Yama Raja (Penguasa Neraka) saat meredam marabahaya hingga tercipta kesentosaan dunia.
3)
Nahan doningumastuti padha nira hyunumiketa kate nareswara,
Sang sri natha ri wilwatikta haji rajasa nagara wisesa bhupati,
Saksat janma bhatara natha sirananghilangakeni kalengkaning praja,
Hentyang bhumi jawa ti bhakti manukula tumuluyi tekeng digantara.
Terjemahan:
Demikian tujuannya memuja Baginda karena angin buat cerita untuk Baginda Raja,
Baginda Raja Rajasa Nagara di Majapahit seorang raja yang sangat termasyhur,
Bagai jelmaan dewata Baginda Raja berhasil menghilangkan kesengsaraan rakyat,
Seluruh tanah Jawa sangat taat dan tunduk demikian pula seluruh Nusantara.
....
Sementara itu, kolofon Nāgara K.rtagama, sebagai cacatan penyalinan dan nama naskah Nāgara K.rtagama, dapat perhatikan berikut ini.
387)
Iti wawacan Jawa samaptah. Iti wawacan Jawa desa Warnnana samaptah, Nagara Krtagama kalokteng bhuh, sangkatha sri maharaja wilwatikta sajna -/- sryayam wuruk prabhu cakra warttining {48b} nusantara, samangkana telas pinastika mwah, pascat kalanin wwai, umanis, anggara, titi krsna paksa sptaniming kalima, rudhira gni, eka sirsa, gunaning nayaka sangatanu warsaning bhasundhara, isaka, 1913. ksamakna mami kabeh, apaan tan sangkaning wruh saraning kakawyan, tan tameng guru laghu, kwala gumayang ajna sang amurbbheng bali pulina. Ong dirgghayurastu tatastu hastu, om sama sampurnna namah swaha.

Terjemahan bebas:
Inilah bacaan cerita Jawa selesai dikisahkan. Ini bacaan Jawa (bernama) Dēśa Warņnana sudah selesai dikisahkan, Nāgara K.rtagama populer di dunai namanya, kisah cerita Sri Maharaja Majapahit bernama Sri Hayam Wuruk, raja yang menguasai Nusantara. Demikianlah, telah selesai disempurnakan (revisi), selesai pada Selasa, Umanis, bulan mati (gelap), hari kelima, bulan Januari rah 3, kepala 1, 9, 1, tahun saka 1931—1991 Masehi. Maafkanlah saya semuanya sebab tidak paham dan ahli tentang kakawin, tidak paham dengan guru laghu, hanya melaksanakan perintah Sang Penguasa Bali (Gubenur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Oka). Ong dirgghayurastu tatastu hastu, Om sama sampurnna ya namah swaha.

388)
Iti nnagara Krtagama, druwen museum mpu tantular, siddoharjjo, pascat sinurat kala dina, wa, wre, wara sungsang, titi krsna paksa dwa dasa ning asuji, isaka, 1927, de sang apatra ida idewa gde catra, jro kanginan, sidemen, karangasem, bali. Ksamakna ngawang mudhalpha sastra (29 September 2005)
Terjemahan bebas:
Inilah Nāgara K.rtagama milik Museum Mpu tantular, Sidoarjo, Jatim, selesai disalin pada hari Kamis, Wage, Sungsang, pada bulan mati, hari kedua September tahun 2005. disalin (untuk Museum Mpu Tantular) oleh Ida Dewa Gede Catra, Puri Kanginan, Sidemen, Karangasem, Bali. Maafkan saya yang kurang menguasai kakawin (29 September 2005).

Berdasarkan manggala dan kolofon di atas, Nāgara K.rtagama merupakan laporan perjalanan anjangsana Raja Majapahit, Hayam Wuruk ke daerah-daerah kekuasaan wilayahnya. Selain mengisahkan perjalanan Hayam Wuruk ke Blambangan dan Tumapel berikut persinggahan, Nāgara K.rtagama juga berisi silsilah raja-raja dan perundang-undangan Majapahit. Ditinjau dari isinya, wacana kakawin ini berbeda dengan wacana-wacana kakawin lainnya dan agaknya merupakan “cikal bakal” genre babad dalam tradisi sastra Jawa tahapan berikutnya. Sayang, kepeloporan Mpu Prapanca tidak diikuti oleh pujangga lain sehingga tidak ada kakawin yang menggunakan model Nāgara K.rtagama (Saputra, 2001:181).

5. Nāgara K.rtagama dan Mpu Prapanca
Keberadaan karya sastra sejarah, Nāgara K.rtagama ditemukan di Kota Amlapura, Kabupaten Karangasem, Bali dengan judul asli Dēśa Warņnana pada tanggal 7 Juli 1978. pada naskah itu tidak disebutkan nama Kakawin Dēśa Warņnana athawi Nāgara K.rtagama seperti yang tercantum pada kolofon naskah Nāgara K.rtagama yang ditemukan di Puri Cakranegra di Pulau Lombok pada tahun 1894 dan dikenal sebagai satu-satunnya naskah. Naskah Nāgara K.rtagama disimpan di Geria Pidada, Karangasem (Mulyana, 1979:7—9).
Pada dasarnya Kakawin Dēśa Warņnana athawi Nāgara K.rtagama merupakan milik Museum Mpu Tantular, Sidoarjo yang disalin Ida I Dewa Gde Catra, aslinya terdiri atas 47 lembar lontar, sama dengan naskah lainnya, hanya saja ditambahi lagi satu lembar (kolofon) sehingga menjadi 48 lembar. Sesuai tradisi, setiap lembar ditulisi bolak-balik sehingga penomorannya dimulai dari lembar pertama bagian belakang, yaitu lembar {1b} berakhir pada lembar {48b} sehingga lengkapnya {1b—48b}. Setelah ditranskripsi jumlah baitnya menjadi 386 bait kakawin dan ditambah 2 bait kolofon sebagai catatan penyalinan dan naskah Nāgara K.rtagama (Riana, 2009:10).
Pengarang Nāgara K.rtagama, Mpu Prapanca menyebutkan bahwa dalam syair-syairnya (pupuh 94, bait ke-3) sejumlah judul sajak yang pernah menjadi batu ujian bagi kepandaiannya, tetapi tanpa banyak sukses, seperti dikatakannya. Disebutnya Parwasāgara (Samudera Cerita), Sakakalā (candrasengkala dalam bentuk sajak), Sugataparwawar.nana (rupanya sebuah cerita tentang Sang Buddha atau sebuah kumpulan cerita Buddha). Satu-satunya karya Mpu Prapanca yang ada ialah Nāgara K.rtagama yang demikian tersohor itu dan uniknya dalam jenisnya. Syair itu diselamatkan untuk masyarakat dan lewat satu naskah saja –kebetulan sekali menurut hematnya. Apakah ini disebabkan pada waktu syair itu termasuk dalah satu jenis kesusastraan yang oleh angkatan-angkatan berikut tidak begitu diperhatikan lagi dan tidak cocok dengan selera umum? Jika demikian, sekurang-kurangya ada satu orang yang seleranya tidak selaras dengan selera orang-orang sezaman dan kepada orang itu, patut berutang budi bahwa Nāgara K.rtagama diselamatkan (Zoetmulder, 1985:49—50).
Membicarakan sastra kakawin, tentu tidak akan lepas dari Nāgara K.rtagama, satu-satunya kakawin yang ditulis untuk melukiskan kenyataan historis. Di antaranya peristiwa yang terjadi keraton Majapahit antara tahun 1359—1363 yang disebut dua pesta keraton. Pertunjukkan yang dipergelarkan pada kedua peristiwa itu diuraikan dengan cukup panjang. Akan tetapi, sayang, wayang tidak disebut secara eksplisit dalam kedua teks itu, juga tidak dalam bagian-bagian lain karya itu. Jika meneliti sastra kakawin lainnya, hasilnya lebih memuaskan (Zoetmulder, 1985:263).
Kakawin Nāgara K.rtagama karya Mpu Prapanca merupakan karya yang luar biasa dan sebagai salah satu bentuk karya kakawin yang tidak diikuti oleh penyair lainnya. Dalam Nāgara K.rtagama (94.3) Mpu Prapanca menulis tentang dirinya sendiri pada akhir karyanya merupakan sebuah deskripsi mengenai wilayah-wilayah kerajaan yang diuraikan satu persatu. Oleh karena itu, Nāgara K.rtagama dapat juga dinamakan Dēśa Warņnana, yaitu pelukisan tentang wilayah kerajaan. Kakawin ini merupakan naskah satu-satunya yang ditemukan di Pulau Lombok pada tahun 1894 dikenal dengan Nāgara K.rtagama (kerajaan yang dipimpin menurut tradisi suci). Untuk penamaan kakawin ini tidak terdapat dalam teksnya sendiri, melainkan dalam sebuah catatan tmabahan (Zoutmulder, 1985:440).
6. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Kakawin Nāgara K.rtagama merupakan karya sastra sejarah, yang menceritakan keagungan Kerajaan Majaphit, kerajaan yang berpusat di Jawa agian timur—di daerah Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Bentuk kakawin Nāgara K.rtagama masih tetap berada dalam jalur konvensional sesuai dengan metrum kakawin. Secara estetika kakawin Nāgara K.rtagama memiliki sifat religi dan keindahan alam dan bangunan Kerajaan Majapahit. Di samping itu, kakawin Nāgara K.rtagama memiliki struktur formal dan naratif yang sama dengan kakawin lainnya. Hal yang berbeda hanya berupa isi dan tema mengenai bentuk perjalanan Sang Baginda Raja Mahapahit.
2. Makna dan sejarah lahirnya kakawin Nāgara K.rtagama merupakan karya yang agung yang diciptakan oleh Prapanca sebagai bentuk karya sastra Jawa kuno, yang lahir dari pengaruh India, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebudayaan Jawa.
Bibliografi

Mulyana, Slamet. 1979. Negara Kretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhatara.
Manu. 1987. “Kakawin Banawa Sekar Tanakung Studi Mengenai Upacara Sraddha pada Akhir Majapahit”. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Hutomo, Suripan Sadi. 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Kebudayaan Republik Indonesia.
Poerbatjaraka R.M.Ng. dan Tardjan Hadidjaja. 1957. Kepustakaan Djawa. Jakarta: Djambatan.
Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Dēśa Warņnana athawi Nāgara K.rtagama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas.

Saputra, Karsono H. 2001. Puisi Jawa Struktur dam Estetika. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
_______________. 2005. Bahasa dan Sastra Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Kakawin. Denpasar: Pustaka Larasan.
Saidi, Shaleh. 2007. Lingua Franca: Menelisik Bahasa dan Sastra Melayu di Nusantara dari Riua hingga Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.
Zoelmulder, J.P. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Yogyakarta: Djambatan.

Komentar

Sehubungan dengan akan diselenggarakan kegiatan Seminar Ilmiah Nasional Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur dan Teknik Sipil (PESAT) 2013 dengan tema Peningkatan Daya Saing Bangsa Melalui Revitalisasi Peradaban pada tanggal 8Sehubungan dengan akan diselenggarakan kegiatan Seminar Ilmiah Nasional Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur dan Teknik Sipil (PESAT) 2013 dengan tema Peningkatan Daya Saing Bangsa Melalui Revitalisasi Peradaban pada tanggal 8-9 Oktober 2013 di Bandung, maka kami mengundang Bapak/ibu/sdr/sdri turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Informasi selengkapnya dapat dilihat pada alamat URL http://penelitian.gunadarma.ac.id/pesat-9 Oktober 2013 di Bandung, maka kami mengundang Bapak/ibu/sdr/sdri turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Informasi selengkapnya dapat dilihat pada alamat URL http://penelitian.gunadarma.ac.id/pesat

Postingan populer dari blog ini

Gambaran Politik, Ideologi, dan Kekerasan Drama Mangir Karya Pramoedya Ananta Toer

Gambaran Politik, Ideologi, dan Kekerasan Drama Mangir Karya Pramoedya Ananata Toer Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan gambaran politik, ideologi, dan kekerasan drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. Drama politik, umumnya memainkan peranan utama dalam karya sastra, karya sastra tanpa politik seakan terasa “mentah.” Dalam bentuk yang ideal, drama politik berisi ketegangan internal, yaitu ketegangan perilaku dan perasaan seorang tokoh, di samping itu harus mengisyaratkan ideologi modern. Ideologi umumnya bersifat abstrak dalam pikiran tokoh. Konflik dan kekerasan dalam drama Mangir mampu memikat pembaca, karena drama itulah politik dan ideologi ditampilkan sekaligus dipertahankan, serta gagasan tentang keterlibatan sastra dan pengarangnya juga merupakan alegori yang ironis, yang dimaksudkan sebagai sindiran terhadap konflik antarpenguasa. The research aims to describe the illustration of politic, ideology, and strife o

Novel Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat: Kelokalan Jawa dalam Narasi Sejarah Versi Kaum Minoritas

Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Dalam sejarah pemikiran dan polemik kebudayaan yang panjang di masa lalu, ternyata telah begitu jauh bersinggungan dengan sisi sensitif nasionalisme dan kejatidirian kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa.Salah satunya terwujud pada sastra yang memperlihatkan bentuk struktural dari situasi historis, yaitu novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, Centhini karya Sunardian Wirodono, dan Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani. Dalam konteks itu, ketiga novel tersebut merupakan novel sejarah yang bersumber dari Babad Tanah Jawi (Roro Mendut), Babad Tanah Jawi dan Babad Demak (Madam Kalinyamat), dan Serat Centhini (Centhini).Konklusi harapan besar dari komitmen sejarah membuka pemahaman bagi pembaca awam sebab budayanya dapat mempertahankan kelestarian ‘seperangkat mitologi’ penuh daya pengaruh yang dapat menyusup ke dalam liku masyarakat Jawa. Unsur-unsur sejarah ditunjukkan dengan memunculkan tokoh-tokoh—yang berdasar sumber lain diakui sebagai pel