Langsung ke konten utama

ESTETIKA RESEPSI PUISI NYONGKOK DI BUCU KARYA I NYOMAN MANDA

Abstraks
Objek penelitian ini adalah berkenaan dengan sarana estetik karya sastra yang dinilai mampu memberi gugahan emosional sehingga bisa menghasilkan efek katarsis pada pembaca. Apakah pikiran-pikiran yang dikemukakan pengarang (penyair) itu berharga atau tidak, pembaca tetap tidak tahu. Apakah puisi-puisi yang dipaparkan itu mencapai nilai sastra, pembaca tidak tahu mencoba memahami sekadarnya. Akan tetapi, membaca sebauah puisi adalah sebuah proses kreatif—bahwa pembacalah yang memberi makna, sudah tentu dalam rangka kemungkinan interpretasi yang diberikan oleh kata-kata karya sastra itu sediri. Contoh analisis yang memperlihatkan sistem konvensi bahasa, budaya atau sastra dapat memengaruhi interpretasi pembaca terhadap puisi Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda menarik untuk dikaji. Konvensi yang sangat penting dalam puisi modern, terungkap pada puisi “Nyongkok di Bucu”, tetapi pembaca merasa kesulitan untuk memaknainya. Dalam penafsiran itu sebenarnya ada pertentangan yang lebih ironis sehingga efek katarsis dan faktor-faktor yang memengaruhi efek katarsis pada kumpulan puisi Nyongkok di Bucu dapat ditemukan makna totalitasnya.

Kata kunci: puisi, estetika resepsi, dan efek katarsis

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perkembangan kritik sastra Indonesia dalam dekade 1980-an ditandai dengan munculnya beberapa pembicaraan mengenai sosiologi sastra atau pendekatan sosiologis terhadap karya sastra. Dalam konteks ini, kritik sastra sesungguhnya mencoba memanfaatkan disiplin ilmu lain (sosiologi) untuk memberi penjelasan lebih mendalam mengenai salah satu gambaran kemasyarakatan yang terdapat dalam karya sastra. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai hubungan kritik sastra dengan sosiologi, muncul lantaran ada anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin masyarakat. Karya sastra juga dianggap sebagai potret kehidupan masyarakat dan gambaran semangat zamannya. Dalam hal ini, karya sastra dianggap sebagai gambaran “struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dll” (Mahayana, 2005:335).
Memasuki abad ke-21 Bali mengalami perubahan sosial budaya yang sangat cepat, luas, dan menjangkau hampir semua aspek kehidupan. Perubahan tersebut telah banyak menyita perhatian para ilmuan melalui diskusi, polemik, dan publikasi. Penyair Bali, lewat karya-karyanya yang imajinatif tidak mau ketinggalan. Awal tahun 1990-an banyak di antara mereka mulai menulis sajak yang melukiskan sensitivitas orang Bali dalam menghadapi proses perubahan sosial (Darma Putra, 1998:143). Sejak awal kelahirannya tahun 1910-an sampai perkembangannya memasuki tahun 2000 sastra Bali modern didominasi tema-tema cerita yang kontekstual dengan isu-isu sosial yang hangat di masyarakat. Misalnya, pentingnya pendidikan bagi anak-anak, propaganda agar masyarakat antiopium atau madat, dan esensialnya hukum karma dalam sistem kepercayaan masyarakat. Pemahaman puisi tidak terlepas dari latar belakang kemasyarakat dan budayanya. Untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, selain analisis struktur intrinsiknya (secara struktural) dan dihubungkan dengan kerangka kesejarahannya, di antaranya dengan intertekstualitas sehingga analisis tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial budayanya (Teeuw, 1983:61—62).
Menurut Atmazaki (1991:112) dunia sastra, khususnya sajak, adalah kreatif; dunia yang menghendaki agar orang-orang yang terlibat di dalamnya juga kreatif. Apabila sastrawan “habis-habisan” sewaktu menciptakan karya sastra, apa salahnya kalau pembaca juga dituntut habis-habisan dalam upayanya merebut dan memberi makna karya sastra (menganalisis dan menginterpretasikannya). Amat tidak seimbang apabila dunia yang begitu agung bagi sastrawan disambut sebelah mata oleh pembaca. Akan tetapi, juga tidak seimbang kalau sastra yang “acak-acakan” disambut dengan “berdarah” oleh pembaca. Oleh sebab itu, dituntut kepada pembaca untuk kreatif dan kritis di samping mempunyai kepekaan estetis dalam menghadapi karya sastra.
Memahami puisi I Nyoman Manda yang berlatar belakang budaya Bali harus mengetahui budaya Bali. Ada berbagai sarana estetik yang terdapat pada puisi ini yang diasumsikan mampu menggugah kesadaran pembaca, efek katarsis terhadap isu yang diangkat dalam puisi Nyongkok di Bucu, yakni kritik sosial terhadap elemen pemerintahan melalui ironisme terhadap sektor pertanian, pariwisata, pendidikan, politik dan kondisi pemerintahan, dan peristiwa tsunami di Aceh.
Kemudian kesadaran akan pentingnya faktor penerimaaan dalam pengkajian sastra muncul sejak adanya kesadaran bahwa sastra adalah suatu bangunan bahasa yang mengundang tanggapan pembaca. Hal ini berarti bahwa keberadaan suatu teks sastra adalah dalam rangka fungsi yang ditujukan kepada pembaca. Perkembangan keasadaran itu menempatkan pembaca dalam kedudukan yang penting dan menentukan dalam komunikasi sastra. Para pemuka penelitian resepsi sastra berpendapat bahwa teks sastra pada dasarnya adalah suatu artefak. Suatu teks baru menjadi objek estetik setelah dibaca atau dengan kata lain dikonkretisasikan oleh pembaca. Oleh karena itu, makna karya sastra lahir dari proses konkretasi yang berlangsung terus-menerus oleh pembaca dalam kurun waktu dan situasi yang berbeda-beda (Zaidan, 2002:35). Dengan demikian, kajian efek katarsis diterapkan pada kumpulan puisi Nyongkok di Bucu karya Nyoman Manda.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan dua permasalahan sebagai berikut.
(1) Bagaimanakah efek katarsis pada kumpulan puisi Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda?
(2) Faktor-faktor apakah yang memengaruhi efek katarsis pada kumpulan puisi Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda?

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan apresiasi sastra dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap karya sastra Bali modern. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan positif terhadap kehidupan manusia dengan cara memahami dan memberi arti dari berbagai unsur yang terkandung dalam puisi-puisi di Bali, meningkatkan dan mengembangkan kajian ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kesusastraan, serta memberikan sumbangan pemahaman positif terhadap karya-karya sastra dan teori sastra ataupun teori sosial dalam bidang kritik sastra, khususnya puisi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek katarsis dan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi efek katarsis pada kumpulan puisi Nyongkok di Bucu karya Nyoman Manda.



2. Landasan Teoretis dan Tinjauan Pustaka
2.1 Landasan Teoretis
Pada perkembangannya, penelitian sastra pun mulai bergerak ke arah penelitian yang berorientasi pada pembaca. Hal ini mulai mendapat bentuk secara sistematik dan metodologik lewat tangan Jauss dan Iser, keduanya dari Jerman, pada sekira tahun ¬60-an (Junus, 1985). Berbeda dengan pendekatan struktural terhadap karya sastra, dengan bentuk yang paling radikalnya seperti yang dilakukan aliran New Criticism di Amerika atau juga Formalisme di Rusia, pendekatan pada pembaca ini mulai menyangsikan otonomi pemaknaan yang mutlak hanya didapat dari teks karya. Oleh karena itu, pendekatan ini berupa pemeriksaan proses pembacaan teks oleh pembaca dengan segala variable pembeda tersebut, berbeda dengan analisis struktural murni yang secara terbatas hanya berangkat dari otoritas penilaian terhadap apa yang terdapat pada teks. Pendekatan inilah yang dikenal dengan istilah resepsi sastra atau ada juga yang menyebut dengan istilah estetika resepsi sebagai terjemahan dari rezeptionaesthetik.
Dalam metode estetika resepsi ini diteliti resepsi-resepsi setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya sehingga membentuk jalinan sejarah. Pembaca yang dimaksud adalah pembaca yang cakap, ahli sastra, ahli sejarah, peneliti, serta dapat juga sastrawan atau pengarang sastra. Para ahli sastra di setiap periode memberikan komentar-komentar, tulisan, tanggapan berdasarkan “konkretisasi” yang dikemukakan oleh Vodicka ini berasal dari Roman Ingarden (Vodicka, 1964:79 dalam Suroso, 2008:114), yang berarti ‘pengkonkretan makna karya sastra atas dasar pembacaan dengan tujuan estetik’.
Resepsi sastra, pada dasarnya sudah dimulai oleh Mukarovsky dan Vodicka, dengan konsep karya seni sebagai objek estetik bukan artefak. Dengan adanya peranan pembacalah, terjadinya pertemuan objek dan subjek, yang dengan sendirinya menimbulkan kualitas estetis. Kemudian dilanjutkan dengan Jausz dan Iser yang termasuk dalam mahzab konstan, Jerman. Jika Jauzs (Bapak Filologi modern) memberikan perhatian pada penerimaan pembaca sekaligus dalam aspek estetika dan proses kesejarahan. Sebagai ahli dalam bidang karya sastra lama, karya sastra lama terkandung dalam pertemuan antara masa lampau karya sastra dengan kekinian masing-masing peneliti (resepsi sastra secara diakronik), sedangkan Iser memberikan perhatian pada hubungan teks dengan pembaca, dalam hubungan ini kekuatan karya untuk memberikan efek kepada pembaca. Efek tersebut berupa ruang kosong yang berpotensi diisi pembaca secara kreatif dan bebas (Ratna, 2004:170).

2.2 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang menerapkan kritik sastra resepsi sastra sebagai pisau bedahnya memang telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Banyaknya karya sastra yang menjadikan sosial, budaya, politik, dan ekonomi sebagai dasar cerita, dengan berbagai permasalahan yang dihadirkan secara menarik, yang melatari kehidupan para pengarang di Bali, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai resepsi sastra.
Hasil penelitian yang mengkaji resepsi sastra dangan berbagai objek kajian dan landasan teori, di antaranya adalah (1) I Nyoman Kutha Ratna berjudul Kode Etik dalam Geguritan Jayaprana dan Layonsari: Tinjauan dari Segi Resepsi Pembaca. Penelitian ini menggunakan objek kajian sastra lisan dengan menggunakan teori sinkronik Iser; (2) I Made Soreyana, Ida Bagus Rama, dan I Wayan Cika dengan judul Salya dan Diah Satyawati: Studi Resepsi Terhadap Hikayat Pandawa Lima. Penelitian ini menggunakan objek kajian naskah lama dengan menggunakan teori sinkronik Iser; (3) Mari’i dan Anang Zubaidi Sumerep dengan judul Resepsi Masyarakat Lombok Terhadap Folklor Lisan Sasak Lelakaq. Penelitian ini menggunakan objek kajian folklor dengan menggunakan teori sinkronik Iser; (4) Zainal Arifin dan Ahmad Badrun dengan judul Menelusuri Resepsi Sastra atas Novel Siti Nurbaya dan Belenggu; (5) Kristinawati dengan judul Tanggapan Pembaca Terhadap Ide Demokrasi dalam Puisi-puisi Walt Whitman: Studi Sinkronik Estetika Resepsi pada Mahasiswa Sastra Inggris Unair; (6) Armeni dengan judul Tanggapan Pembaca Terhadap Cerita Siti Nurbaya; Sebuah Tinjauan Estetika Resepsi; (7) Joko Widodo, Saraswati, dan Ekarini dengan judul Pola Penerimaan Teks (Estetika Resepsi) Cerpen Indonesia Muktahir: Siswa dan Sistem Pembelajaran Sastra di SMU Kota Malang; dan (8) Jaelani, Ngadimin, dan Rumiati dengan judul Tanggapan pembaca Terhadap Novel Saman Karya Ayu Utami dengan Analisis Sastra. Penelitian ini mengunakan objek kajian sastra modern, seperti novel, puisi, dan Saman dengan menggunakan teori resepsi sastra sinkronik; (9) Faruk dengan judul Novel-novel Tradisi Balai Pustaka 1920—1942: Tinjauan Genesisi dan Resepsi; (10) Dian Swandayani, Sri Wilujeng, dan Nuning Catur dengan judul Resepsi Sastra Penulis-penulis Prancis dalam Media Cetak Indonesia pada Tahun 2000—2005. Penelitian ini menggunakan objek kajian novel dan pengarang dalam sastra modern dengan memumpunkan pada studi diakronik, Jauzs; dan Linny Oktaviani berjudul Cerita Prosa Rakyat Raja Segentar Alam dan Ratu Bagus Kuning: Telaah Resepsi Sastra. Penelitian ini menggunakan objek tradisi lisan, yaitu cerita prosa rakyat dangan menggunakan resepsi sastra secara diakronik. Sementara itu, penelitian yang mengkaji puisi Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda sampai saat ini tidak ditemukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengungkap puisi Nyongkok di Bucu sebagai bahan penelitian dengan menggunakan teori resepsi sastra.

3 Metodologi Penelitian
3.1 Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer, yaitu kumpulan puisi Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda. Puisi ini, terbit bulan Februari 2006, cetakan pertama yang diterbitkan oleh Pondok Tebawutu, dan tebal buku iii + 50 halaman. Selain itu, sumber data penelitian ini adalah data sekunder, yaitu responden mahasiswa Universitas Hindu Indonesia semester V sebanyak 20 orang dan IKIP PGRI semester V sebanyak 20 orang.

3.2 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Februari—Oktober 2009. Tempat penelitian di Universitas Hindu Indonesia, Jalan Sangalangit, Denpasar dan IKIP PGRI Bali, Jalan Seroja, Denpasar.

3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara dan angket. Teknik wawancara terbagi dalam dua cara yaitu wawancara berstruktur (dengan daftar pertanyaan yang sudah ditentukan) dan wawancara tidak berstruktur (pertanyaan dapat diubah sesuai kondisi pada saat wawancara). Wawancara dilakukan kepada pengarang dan responden untuk mengetahui puisi Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda. Angket berupa daftar pertanyaan untuk mengetahui estetika resepsi dan efek katarsis puisi Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penggunaan metode deskriptif untuk mengumpulkan data penelitian berdasarkan natural setting (situasi pembaca seperti apa adanya).

3.4 Teknik Analisis Data
Dalam menganalis data digunakan metode analisis isi dan hermeneutik, dimaksudkan untuk melakukan analisis dan deskripsi serta interpretasi terhadap efek katarsis pembaca puisi Nyongkok di Bucu. Berkenaan dengan hal tersebut, pengolahan data menggunakan metode deskripsif analisis interpretasif.
Unsur amanat sebagai salah satu unsur intrinsik karya sastra adalah landasan pertama sebagai penganalisisan yang dilakukan. Karena kaitan tema yang menghubungkan unsur amanat tersebut dengan efek pada pembaca sehingga sedikit banyak analisis ini juga mempunyai pola seperti apa yang dilakukan dalam kerja penelitian resepsi sastra, cara kerja Iser. Untuk proses pemaknaan puisi, sedikit banyak juga cara kerja dipengaruhi model analisis kajian semiotik mengenai sistem tanda, yang bagaimanapun diperlukan untuk menotalitaskan analisis terhadap sebuah teks sastra. Kajian stilistika berfungsi sebagai alat bantu klasifikasi terhadap sarana estetik yang digunakan teks. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam analisis ini adalah psikologi pembaca sehingga hasil pembahasan tentang tanggapan pembaca dapat subjektif.
Mekanisme kerja melakukan analisis teks seperti apa yang dilakukan Goldman, yakni secara dialektik (Faruk, 1999). Dalam kerangka strukturalisme genetik, metode dialektik bekerja dengan cara pemahaman bolak-balik antara struktur sosial dengan teks sastra yang diteliti (ibid). Analisis bisa berangkat dari teks yang selanjutnya diujikan pada kenyataan sosialnya, atau sebaliknya, dan hal ini berlangsung terus menerus hingga didapatkan koherensi total struktur teks yang dihadapi (ibid). Seperti penyesuaian yang dilakukan oleh Faruk dalam menggunakan metode tersebut pada kerangka semiotik (ibid). Namun, secara sistematika penulisan, penulis berangkat dari analisis terhadap sarana estetik teks sastra yang akan diuji dengan analisis konteks pembicaraan lalu tanggapan pembaca hingga didapatkan pemaknaan totalnya.

4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Estetika Resepsi Pada Puisi Nyongkok Di Bucu
Membaca karya sastra adalah kegiatan yang bisa mempunyai arti yang berlainan dan memberikan kepuasan berbeda-beda bagi pembacanya (Damono, 1996:8). Berdasarkan pengalaman Jausz sebagai medievis, selain unsur struktur karya sastra, juga menekankan peranan pembaca yang horison harapannya memahami dan menilai karya sastra. Penekanan terhadap pergeseran nilai dalam sejarah dan Jausz pun menekankan perluanya penelitian karya sastra dalam ketegangannya antara penafsiran historis dan aktual. Dalam hal ini si peneliti sendiri pun merupakan bagian proses pemberian makna dan nilai yang berlangsung terus-menerus, dalam penelitian itu diusahakannya mencapai sintesis antara penelitian historis dan penilaian aktual.
Persepsi pembaca pada prinsipnya ditentukan oleh dua fungsi karya sastra, yaitu a) fungsi otonom puitiknya, yang terlaksana lewat kemampuan kode sastra berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sebagai pembaca sastra; b) fungsi komunikatif yang pelaksanaannya oleh pembaca ditentukan oleh situasinya sebagai anggota masyarakat tertentu (Teuuw, 1983:62). Tekanan pada pembaca sebagai pemberi makna berarti bahwa karya sastra dalam visi ini tidak mempunyai makna langgeng dan mantap: pemahaman dan penelaiannya terus bergeser dengan munculnya kalangan atau angkatan pembaca baru. Akibatnya, peneliti sastra individual dan norma sastra yang “disimpanginya” ataupun “dibrontakinya”; itulah pelaksanan poetic function; dan ketegangan antara norma sastra dan norma sistem kemasyarakatan yang lain: itulah pelaksanaan fungsi komunikatif.
Berdasarkan pendapat di atas, peneliti mengelompokkan kategori pembaca menjadi dua, yaitu pembaca biasa (awam, khususnya dua puluh mahasiswa Pendidikan Agama UNHI) dan pembaca sastra (dua puluh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Denpasar). Dari empat puluh pembaca puisi Nyongkok di Bucu yang mengisi angket penelitian, pembaca awam dan sastra baru mengetahui puisi tersebut. Kemudian pertanyaan diarahkan pada isi keseluruhan puisi. Pembaca memberikan isi puisi, yaitu umumnya protes sosial terhadap tanah Bali dan dampak pariwisata, politik, pendidikan, korupsi di berbagai birokrasi, dan bencana tsunami di Aceh yang menyisakan kesedihan.
Secara keseluruhan resepsi responden belum mampu mengungkapkan isi dan makna puisi Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda. Efek pencerahan pada pembaca, yang berawal dari puisi “Satuan Angin” terhadap oknum yang meminta sumbangan jika ada rakyat yang ingin menjadi pejabat, mencari sekolah, dan sebagainya, ditampilkan dengan gaya ironis, ini dapat dilakukan pembaca melalui proses identifikasi unsur batin puisinya. Secara tidak langsung puisi I Nyoman Manda mengandung amanat yang dapat dipetik oleh pembacanya. Dalam menghadapi pemahaman puisi-puisi I Nyoman Manda, pembaca sebaiknya meleburkan dirinya, sebagai subjek lirik “aku” yang mengalami yang berada di dunia realitas, ke dalam tokoh-tokoh yang dihadirkan oleh penyair. Pembaca dimungkinkan untuk menjadikan tokoh sang koruptor, yang merupakan inti/maksud dari puisi-puisi I Nyoman Manda, sebagai citraan dari dirinya sendiri. Tingkatan kepekatan pencitraan ini tentunya dipengaruhi dan ditentukan oleh sekian faktor yang menjadi latar belakang pembaca sendiri.
Pada dasarnya, pembaca harus masuk sebagai subjek lirik dalam masing-masing puisi I Nyoman Manda. Puisi “Nyongkok di Bucu” merupakan salah satu puisi yang memerlukan keahlian untuk dibaca dan dipahami daripada puisi-puisi yang lainnya. Pembaca awam yang tidak tahu sastra dan hanya mengenal ketika mereka duduk di bangku SMA memberikan gambaran mengenai penafsiran puisi “Nyongkok di Bucu” beraneka ragam. Berikut penafsiran pembaca awam pada pusis tersebut.
Bait ke-1: Sebuah cerita mengenai bumi yang penuh dengan germerlap, ternyata semua berubah secara tiba-tiba dan menjadi terpuruk tidak seindah dulu.Tanpa seorang yang memimpin bumi ini sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Sekarang sudah menjadi cerita seperti kondisi Indonesia saat ini. Bait ke-2: Keadaan ini begitu cepat berubah. Hari ini masih bisa dilihat, tetapi besuknya sudah berubah cepat seperti leak. Tidak ada belas kasihan sedikit pun kepada rakyat. Yang dijalankan oleh para penguasa hanyalah keinginan pribadi dan untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Para penguasa tidak punya malu lagi dengan peraturan-peratuan yang mereka buat. Alhasil, uang dan bagian yang mereka pikirkan. Mereka hanya menacari kawan dan yang terpenting mendapat bagian. Bait ke-3: Sekarang susah untuk menilai para penguasa yang sebenarnya serakah dan suka menjarah hak rakyat. Kejahatan mereka tertutupi oleh janji-janji untuk kepentingan rakyat. Memang, sulit menilai tingkah laku mereka. Bait ke-4: Rakyat hanya bisa menoleh dan berjongkok di pojok, menyaksikan apa yang terjadi di buminya yang dipimpin oleh penguasa yang hanya menjalankan pendapatnya saja, tidak mendengar seikitpun suara rakyat.

Resepsi puisi “Nyongkok di Bucu” oleh pembaca tersebut menjelaskan secara semiotik dari bait ke bait setidaknya bisa memahami apa yang dimaksudkan oleh penyair. Hanya saja, pembaca menafsirkan para penguasa dengan mengunakan subjek lirik “mereka” yang tidak tersurat dalam puisi tersebut. Menurut Teeuw (1983:48), dunia sajak adalah dunia rekaan, yang hanya dapat diartikan dengan memakai kata-kata yang dipakai dalam sajak itu sendiri, tetapi menghubungkannya dengan fakta-fakta nyata di luar dunia sajak itu jelas dapat menyesatkan kita sebagai pembaca. Hal ini berhubungan dengan pergeseran minat dalam puisi modern dan dalam penafsiran puisi modern, dari arah pengarang ke arah puisi itu sendiri. Untuk memisahkan antara dunia rekaan yang diciptakan oleh pengarang, pembaca terkadang masih tertarik oleh keingintahuan jiwa penyairnya. Hal ini pun dilakukan oleh pembaca yang tendensinya mengenal dan belajar sastra, tetapi mereka belum bisa melakukan penafsiran itu. Lebih mendalam pembaca memberi tafsiran sebagai berikut.
Bait ke-1: Bumi gemerlap menjadi simbol Indonesia yang dulunya subur makmur. Namun, Indonesia yang indah kini sudah tidak seindah dulu. Indonesia kini lagi terpuruk. Seorang pemimpin yang hanya menjalankan pendapatnya tidak sekali mendengarkan suara rakyat. Kondisi Indonesia sekarang sudah menjadi cerita seperti yang tidak seindah dulu. Bait ke-2: Indonesia kini sudah cepat berubah seperti leak. Para pemimpin tidak berpihak pada rakyat, tidak ada belas kasihan. Mereka berlindung dibalik peraturan-peraturan. Uang sebagai oreintasi setiap kegiatan yang mereka lakukan. Persahabatan dijadikan tameng untuk memperoleh uang. Bait ke-3: Perbuatan mereka sudah tidak bisa dinilai lagi. Mereka hanya menjarah dan serakah memakan uang rakyat. Bait ke-4: Rakyat tidak bisa berbuat apa-apa. Yang dilakukan rakyat hanya bisa duduk berjongkok di pojok melihat para penguasa yang menjalankan peraturan-peraturannya sendiri.

Penafsiran seperti di atas tidak didasarkan atas pembacaan yang teliti, tetapi hanya semata-mata penafsiran yang mengandung amanat penyairnya. Pembaca tidak memberi gambaran yang jelas mengenai sebuah susunan makna, yang dianggap relevan sesuai dengan konvensi puisi modern seperti ditulis oleh penyairnya. Sebelum melakukan penafsiran dan interpretasi, pembaca terlebih dahulu melakukan analisis secara struktural. Hal ini sejalan dengan pendapat Luxemburg (1984:64) menyatakan tafsiran-tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara memadai sebuah teks diartikan, melainkan hanya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya. Pendekatan yang berkiblat pada pembaca disebut estetik resepsi. Pengarang menggunakan sarana-sarana struktural, retorik, stilistika, tetapi ada juga yang dibiarkannya “kosong”, peristiwa-peristiwa tidak diceritakan secara lengkap, tokoh-tokoh tidak dilukiskan dengan bulat, diajukan dengan teka-teki, tetapi tidak dijawab. Sarana yang dipergunakan serta bidang-bidang “kosong” mengaktifkan pembaca. Tafsiran estetik resepsi bertujuan menunjukkan di mana dan bagaimana teks puisi memaksa pembaca untuk bersikap aktif agar teks itu dapat ditafsirkan sebagai teks pembaca sendiri. Namun, ada beberapa faktor tetap akan memengaruhi intensitas pencitraan diri pembaca. Pembaca dengan latar belakang sebagai mahasiswa bisa dilemahkan proses identifikasi dirinya terhadap subjek lirik puisi disebabkan kondisi psikologinya yang memiliki tingkat kemampuan berempati dan bersimpati yang rendah terhadap harapan isi puisi I Nyoman Manda. Latar belakang pemikiran yang sangat kuat memandang perbuatan korupsi, semena-mena terhadap rakyat, bahkan bencana yang terjadi di Aceh merupakan sebuah renungan untuk bangsa Indonesia. Selain itu, faktor latar pembaca sendiri akan saling berperan dalam menentukan proses interpretasi puisi-puisi I Nyoman Manda.

4.2 Faktor yang Memengaruhi Estetika Resepsi Pada Puisi Nyongkok Di Bucu
4.2.1 Pembaca dan Efek Katarsis
Dalam ilmu sastra disebut peranan pembaca dimaksudkan dapat berbeda-beda, perbedaan yang pokok adalah pembaca “di dalam” teks dan pembaca di luar teks. Pembaca “di dalam” teks, yaitu pembaca implisit dan eksplisit. Pembaca di luar teks, yaitu pembaca yang diandaikan dan pembaca sungguh-sungguh (Luxemburg, 1984:76).
Pembaca implisit atau pembaca yang sebetulnya disapa oleh pengarang adalah gambaran mengenai pembaca yang merupakan sasaran si pengarang dan yang terwujud oleh segala petunjuk yang didapati di dalam teks. Pembaca yang sesungguhnya, dengan berpedoman pada petunjuk-petunjuk tersebut, lalu dapat memahami yang bersangkutan harus dibaca. Pembaca implisit merupakan sebuah konsep pokok dalam estetika resepsi yang dimaksud untuk menerangkan, kegiatan mana yang seharusnya dikembangkan oleh pembaca agar teks tertentu dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menjadi teksnya sendiri. Pengertian mengenai “pembaca implisit “ juga dipergunakan untuk melukiskan sesuatu yang ironis; di dalam teks hendaknya dicari isyarat-isyarat yang dipancarkan kepada pembaca untuk menafsirkan sesuatu yang ironi. Pembaca implisit sering juga disebut pembaca eksplisit, yaitu pendengar rekaan yang disapa oleh juru dongeng rekaan. Pembaca dapat disapa secara langsung. Kadang-kadang pembaca implisit dan eksplisit tidak melebur menjadi satu. Dalam hal ironi pengarang dapat menyapa pembaca implisit yang lebih tahu lewat pembaca eksplisit yang dianggap naif (Luxemburg, 1984:78).
Pembahasan di atas telah menunjukkan bagaimana sarana ironi digunakan oleh teks puisi. Wacana sosial, budaya, politik, dan bencana yang terjadi di Aceh khususnya dan umumnya di Indonesia menjadi hal yang biasa. Dengan sarana estetika berupa gaya ironi, puisi-puisi I Nyoman Manda menghadirkan sebuah cara pengungkapan yang unik dalam mengetengahkan wacana realitas respon sosial, perubahan sosial, budaya, politik, priwisata, kemiskinanan dan ketakberdayaan menghadapi budaya asing, dan bencana yang terjadi di Aceh. Dengan gaya unik, isi puisi I Nyoman Manda telah menghadirkan sudut pandangan baru bagi seorang pembaca dalam upaya menilai dan memahami wacana yang terjadi.
I Nyoman Tusthi Eddy dan Alit S. Rini dalam tulisannya “Puisi Antara Seni dan Seremoni” mengakui peran sosial sastra dalam puisi telah lama menjadi media ucap sosial dan politik. Tahun 1990-an di Indonesia banyak pejabat yang membaca puisi. Pembacaan puisi itu memiliki arti sosial politik, paling tidak bisa ditafsirkan sebagai usaha kaum elit uuntuk mengenal karya sastra dan mendekatkan diri sebagai seniman. Hal ini merupakan gejala baik, apalagi ditempatkan dalam konteks pemikiran Jhon F. Kennedy yang pernah dikutip dan ditafsirkan oleh Y.B. Mangunwijaya berikut: “seandainya ada lebih banyak kaum politik memahami puisi dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin, dunia yang kita diami ini akan menjadi tempat yang sedikit lebih baik” (Darma Putra, 1997:32).
Sebagaimana pendapat di atas, efek katarsis yang terjadi pada pembaca bertolok ukur dari pengungkapan pengarang dalam puisi-puisinya. Seperti dalam sajak “Amuk” karya Sutardji Calzum Bachri dikutip oleh Teeuw (1983:25) berikut ini.
Pada halaman judul buku Amuk sajak-sajak 1973—1974, tetapi begitu saya mulai membaca halaman pertama, saya kaget: dalam kutipan yang saya baca tadi, dari segala ciri sajak yang khas yang saya ketahui dari konvensi puisi Indonesia modern satu pun tidak kelihatan pada halaman itu: tidak ada baris sajak yang jelas, tidak ada bait, tidak ada sanjak, dan seterusnya; seandainya karangan ini tidak disebut kumpulan sajak pada halaman judulnya tidak ada alasan bagi saya untuk membacanya sebagai sajak, untuk menerapkan konvensi sajak yang saya ketahui pada teks ini. Sutardji, jelaslah dengan sengaja mengejutkan kita sebagai pembaca dengan penyimpangan dari konvensi yang justru merupakan ciri khas puisi. Sekali lagi, Sutardji merupakan contoh modern dan jelas, tetapi dia bukanlah satu-satunya contoh, sebaliknya, seluruh sejarah sastra modern, baik di Barat maupun di Indonesia, adalah sejarah penyimpangan dan konvensi sastra yang berlaku pada masa tertentu.

Sebagai pembaca tentunya harus hati-hati dalam membaca dan menilai karya sastra. Sudah nasib seorang pembaca, membaca merupakan petualangan yang mungkin membawa pembaca ke daerah atau pengalaman yang sangat tidak diharapkan. (Culler dalam Teeuw, 1983:26) bahwa “reading is not an innocent activity”, membaca bukanlah sesuatu tanpa bahaya dan risiko, sebaliknya, membaca merupakan pergulatan terus-menerus, dengan kemungkinan besar bahwa saya sebagai pembaca akan kalah.
Dalam hal ini, efek ironi pada puisi Nyongkok di Bucu diciptakan berdasarkan konvensi sastra itu sendiri kemudian dipahami oleh pembaca. Upaya hiperbolitisasi terhadap puisi-puisinya membuat pembaca ikut merasakan apa yang dialami negara, khususnya rakyat miskin sebab pada realitasnya memberi tahu pembaca bahwa seorang koruptor, masih merajalela di mana saja, bahkan di Bali.
Menurut penyair Latin Horatius (65, SM-8M), para penyair ingin membuat sesuatu yang berfaedah bagi pembaca atau yang menyenangkannya (prodesse atau delectare). Puisi yang baik adalah puisi yang memperpadukan yang berguna dengan yang menyenangkan (qui miscuit utile dulci) (Luxemburg, 1984:78). Pembaca tentu tidak akan menerima bahwa seorang koruptor seharusnya meringkuk dan sengsara dalam penjara, bukan sebaliknya mereka hidup senang, damai, dan tentram, bahkan penuh kefoya-foyaan di tengah keluarga dan dunia luar. Bagaimana bisa diterima kesenangan hidup yang dijalani oleh sang koruptor dan keluarganya tersebut jika realitas memberitakan bahwa perbuatannya, yang dinikmati oleh segelintir orang dalam lingkup keluarganya tersebut, telah menyengsarakan kesejahteraan orang banyak, khususnya rakyat Indonesia dan telah merugikan kepentingan negara. Tidak tanggung-tanggung tindakan korupsi telah menjadi tren di kalangan penguasa dan birokrasi, baik di negeri maupun swasta.
Gaya ironi yang mengoposisikan sekaligus mengorelasikan antara peristiwa di Indonesia, khususnya di Bali dengan kejadian di Aceh sangat kuat secara emosional menggugah perasaan pembaca. Bagaimana mungkin pembaca tidak akan tersentuh dengan imajinasi penyair bahwa para koruptor, beserta kroni-kroninya dimetaforkan dalam sedang berbagi tulang triliyunan dan berebut tulang triliyunan menjadi pekerjaannya. Peristiwa gempa tsunami yang dapat dijadikan dalih untuk pengumpunan dana digambarkan dengan hiperbola dan ironis pula. Dana yang seharusnya untuk rakyat hanya menjadi “kidung” membantu bumi Aceh. Betapa mirisnya pembaca, dalam menganalisis puisi-puisi I Nyoman Manda. Hal ini sejalan dengan pendapat (Luxemburg, 1984:78) bahwa dalam buku karangan Aristoteles yang berjudul puitica terdapat dasar bagi teori katharis. Menurut ahli filsafat Yunani itu sebuah pentas tragedi yang menimbulkan rasa belas kasihan dan ketakutan dapat membersihkan (katharsis) alam emosi kita. Salah satu tafsiran mengenai teks ini mengatakan bahwa sebuah tragedi memperlihatkan kesengsaraan yang demikian hebat sehingga tidak terjangkau oleh cakrawala pengalaman kita.
Menurut Simon Lasser (dalam Luxemburg, 1984:79), sastra agung berkaitan dengan masalah-masalah emosional pembaca sendiri sehingga “sambil membaca karya itu pembaca dapat bertatap muka dengan masalah-masalah pembaca sendiri yang paling mendesak, pun pula dengan problem yang biasanya pura-pura tidak kita maklumi”. Sambil membaca sastra itu sehingga secara tidak sadar pembaca dapat mengerti makna tersembuyi isi puisi itu. Ada unsur-unsur dalam puisi I Nyoman Manda yang mengungkapkan keinginan dan emosi pembaca yang tersembunyi.

4.1.2 Faktor yang Memengaruhi Efek Katarsis Pada Puisi Nyongkok Di Bucu

Peranan sastra dalam masyarakat tradisional masih menunjukkan aspek lain yang tidak dapat dilupakan dalam pertimbangan mengenai pertentangan estetik persamaan dan estetik pertentangan. Oleh karena itu, sastra tradisional tidaklah merupakan écriture (tulisan mati), tetapi selalu terlaksana dalam bentuk penghayatan bersama sehingga kemungkinan secara estetis selalu ditentukan pula oleh mutu performance-nya. Akan tetapi, pada pihak pembaca modern pun tidak ada masalah. Lotman memberi kesan bahwa penilaian karya seni modern ditentukan oleh kejutan yang diberikan kepada pembaca yang tidak bersiap, tidak mungkin bersiap untuk penyimpangan konkret dari kode yang dikuasainya; kejutan dicerna oleh pembaca secara berangsur-angsur dengan jalan merebut kode daripada karya seni yang baru dibacanya (Teeuw, 1983: 30—31). Ada beberapa faktor yang memengaruh estetik resepsi puisi Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda berikut ini.
Pertama, aspek pengetahuan (kognitif), pemahaman (afektif), dan sikap (psikomotor) pembaca dalam pemahaman mengenai unsur puisi dan unsur luarnya yang berkaitan mengenai persepsi dan pemaknaannya, hal tersebut memiliki peran yang besar dalam menentukan interpretasi puisi Nyongkok di Bucu.
Kedua, puisi modern seperti Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda memiliki tiga tema yang besar, yaitu protes sosial di bidang pendidikan, budaya, pariwisata, dan politik, berupa mengungkapan birokrasi yang tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan benar, korupsi merajalela, pungutan di berbagai tempat pemerintahan dan swasta, bahkan bencana tsunami yang menambah Indonesia semakin terpuruk.
Ketiga, bagaimanapun analisis ini belum memberikan kompetensi terhadap interpretasi pembaca sebagai wakil peneliti untuk melakukan estetik resepsi secara benar. Pembaca masih bersifat umum dan tentunya belum bisa menghasilkan penafsiaran yang baik. Hal paling penting yang memengaruhi estetik resepsi pada puisi Nyongkok di Bucu adalah latar belakang sosial dan ideologi (pemikiran) pembaca, serta tingkat kemampuan melibatkan diri secara emosional. Latar belakang sosial ini secara alami oleh sifat kemanusiaan pada diri pembaca. Secara estetik, gaya ironi yang digunakan puisi tersebut, pada dasarnya mampu menggugah emosi pembaca sehingga membenarkan apa yang disampaikan penyirnya.
Keempat, kemampuan berempati dan simpati seorang pembaca dan tingkat pemahaman emosionalnya akan mempermudah membuka tanggapan pada bentuk ironisme yang dihadirkan dalam puisi Nyongkok di Bucu. Efek katarsis pada diri pembaca ini akan menentukan potensi untuk menemukan nilai-nilai baru yang dihadirkan dalam puisi tersebut.
Kelima, puisi modern memang sangat berbeda dengan puisi tradisional, kuatnya ironi dalam puisi modern, yang menisbikan, pemermasalahan, pemerasingkan keyakinan dan kepastian konvensional. Pembaca puisi ini, terlebih dahulu harus mengetahui konvensi puisi modern, pengetahuan kontekstual, dan daya analisis wacana pembaca. Oposisi-oposisi dalam sarana ironi puisi I Nyoman Manda yang ditulisnya bukan tanpa unsur realita. Namun, dengan bahasa yang lugas segala bentuk kebobrokan birokrasi disederhanakan dalam puisi yang estetik sehingga menyentuh emosional pembaca. Untuk memahami isi puisi pembaca membutuhkan referensi kontekstual, pembaca melakukan interpretasi, memberi makna, dan proses konkretisasi konvensi puisi modern. Dalam faktor ini, sangat memengaruhi proses identifikasi. Teuuw (1983:57) berpendapat bahwa membaca puisi bukan berarti berfilsafat mengenai beberapa kata yang terdapat dalam puisi, tetapi juga tidak menerapkan aturan-aturan yang ketat terhadap sebuah karya sastra. Setiap pembaca mempunyai kebebasan dan kewajiban untuk menafsirkan kembali bagi dia sendiri sastra yang dibacanya, dalam rangka kemungkinan yang disajikan oleh keseluruhan unsur bahasa yang terkandung di dalamnya.
Keenam, sifat kemanusiaan, terkait pengaruh teks puisi tersebut pada pembaca, nilai-nilai yang lahir dari teks puisi, baik positif maupun negatif dapat dikorelasikan secara sistematis, misalnya, peran subjek lirik tokoh sebagai seorang bapak dan sebagai seorang koruptor pada puisi “I Bapak”, dapat memberi kesan tersendiri kepada pembaca.
Ketujuh, pada gaya ironi yang digunakan penyair ditemukan hampir semua puisi-puisi I Nyoman Manda menyiratkan gaya tersebut. Benarkah seorang koruptor akan mendapat pengadilan niskala? Hal tersebut cukup dijawab dengan gaya ironis dan paradoksal yang dihadirkan dalam puisi-puisi I Nyoman Manda yang memberi kekuatan untuk memporakporandakan emosi pembaca. Kedelapan, estetik resepsi puisi Nyongkok di Bucu dapat memberikan pengaruhnya pada pembaca, tetapi tetap pembaca menyelesaikan penilaian dengan horison penerimaannya sendiri.

5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis dan pengulasan tentang esetika resepsi pada puisi Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda dapat ditarik simpulan sebagai berikut. 1) Puisi Nyongkok di Bucu merupakan gambaran kelemahan dan keterpurukan Indonesia yang gagal menata birokrasinya sehingga koruptur merejalela. Hampir semua puisi yang ditulis I Nyoman Manda merupakan hasil dari keterlibatan emosinya. Puisi I Nyoman Manda memperlihatkan bentuk yang berbeda dengan penyair Bali lainnya. Puisinya pada hakikatnya suatu manifestasi dari sensivitas I Nyoman Manda terhadap lingkungannya. Ia banyak melihat dan meresapi keadaan yang terjadi di Indonesia, yaitu birokrasi yang tidak baik. 2) Puisi Nyongkok di Bucu merupakan puisi Bali modern yang menggunakan sarana stilistika berupa ironi, hiperbola, metafora, dengan berbagai kesederhanaannya. Puisi ini mempunyai kelebihan, yaitu memberikan dampak pada katarsis terhadap emosional pembaca. Puisi tersebut terlihat cukup memiliki kepaduan afektif yang memadai guna memberikan efek kataris pada pembaca. Bagaimana peran karya sastra dalam menyampaikan kesadaran humanis pada masyarakatnya, menanamkan tentang nilai-nilai moral pada pembaca. Misalnya, pembaca memberikan kesadaran mutlak kepada para koruptor dan memulihkan keadaan psikologi rakyat yang rapuh setelah bencana tsunami.3) Faktor-faktor yang memengaruhi estetika resepsi pada puisi Nyongkok di Bucu, yaitu kemampuan mengenal sarana estetik teks sastra, wawasan tentang wacana yang dibicarakan teks, kondisi psikologis berupa tingkat kemampuan berempati dan hal-hal lain terkait keterlibatan emosional seorang individu, dan latar belakang pembaca yang membentuk penyikapannya terhadap teks, termasuk pandangan dan wacana pembaca.
5.2 Saran
Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, saran yang disampaikan adalah sebagai berikut. 1) Bagi penikmat sastra, hendaknya dalam melakukan pembacaan sastra tidak sekadar membaca teks sastra, tetapi juga membaca konteks yang terkait dengan karya tersebut sehingga didapatkan pembacaan dan pemahaman yang lebih luas; 2) Bagi peneliti sastra, mengingat persoalan estetika resepsi hanya salah satu unsur dari penelitian sosiologi sehingga masih ada kemungkinan adanya penelitian lain untuk mengungkap permasalahan yang terdapat dalam puisi Nyongkok di Bucu karya I Nyoman Manda.


Daftar Pustaka
Ardhana, I Gusti Ketut dkk. 1991. Telaah Puisi Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Aron Meko Mbete, et al. 1998. Proses dan Protes Budaya: Pesembahan untuk Ngurah Bagus. Denpasar: PT Bali Post dan Balai Bahasa Denpasar.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
_____________________. 1999. Politik, Ideologi, dan Sastra Hibdrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Darma, Budi. 1984. “Moral dalam Sastra”. Dalam Sejumlah Esai Sastra. Jakarta: Karya Unipress.
___________. 1989. “Konstelasi Sastra: Homo Comparativus”. Dalam Wahyudi, Ibnu (ed). Konstelasi Sastra. Kumpulan makalah-makalah yang disajikan pada Pertemuan Ilmiah II Hiski di Denpasar.
Darma Putra, I Nyoman Darma. 1998. “Sajak Protes Penyair Bali 1990-an”. (Dalam Proses dan Protes Budaya: Pesembahan untuk Ngurah Bagus. Editor Aron Meko Mbete, dkk.). Denpasar: PT Bali Post dan Balai Bahasa Denpasar.
__________________________. 2000. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Denpasar: Duta Wacana University Press.
Fokkema, D.W. & Elrvd Kunne Itsch. 2002. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. (Diterjemahkan oleh J. Pra Ptadiharja&Kepler Silaban). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Faruk. 1995. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_____. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo. 1986. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta. PT Tiara wacana Yogya.
Luxemburg, Jan van, et al. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. (Terjemahan Dick Hartoko).Jakarta: Gramedia.
Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publishing.
Manda, I Nyoman. 2005. Riwayat Geliat Sastra Nyoman Manda. Gianyar: Pondok Tebawutu.
________________. 2006. Nyongkok di Bucu. Gianyar: Pondok Tebawutu.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ratna, I Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sastrowardoyo, Subagyo. 1992. Sekilas Soal Sastra dan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Terjemahan Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suroso, et al. 2009. Kritik Sastra Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Suroso dan Puji Santoso. 2009. Estetika Sastra, Sastrawan, dan Negara. Yogyakarta: Pararaton Publishing.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yoyakarta: Hanindita.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
_________. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
_________. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesustraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Wuradji. 2003. “Pengantar Penelitian”. Dalam Jabrohim (ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedoman Penelitian Sastra Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gambaran Politik, Ideologi, dan Kekerasan Drama Mangir Karya Pramoedya Ananta Toer

Gambaran Politik, Ideologi, dan Kekerasan Drama Mangir Karya Pramoedya Ananata Toer Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan gambaran politik, ideologi, dan kekerasan drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. Drama politik, umumnya memainkan peranan utama dalam karya sastra, karya sastra tanpa politik seakan terasa “mentah.” Dalam bentuk yang ideal, drama politik berisi ketegangan internal, yaitu ketegangan perilaku dan perasaan seorang tokoh, di samping itu harus mengisyaratkan ideologi modern. Ideologi umumnya bersifat abstrak dalam pikiran tokoh. Konflik dan kekerasan dalam drama Mangir mampu memikat pembaca, karena drama itulah politik dan ideologi ditampilkan sekaligus dipertahankan, serta gagasan tentang keterlibatan sastra dan pengarangnya juga merupakan alegori yang ironis, yang dimaksudkan sebagai sindiran terhadap konflik antarpenguasa. The research aims to describe the illustration of politic, ideology, and strife o

Kakawin Nāgara K.rtagama sebagai Model Penulisan Sastra Sejarah Masa Keemasan Majapahit

Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Kakawin Dēśa Warņnana athawi Nāgara K.rtagama: Masa Keemasan Majapahit merupakan karya sastra sejarah gubahan Mpu Prapanca, pujangga besar di masa kejayaan Kerajaan Majapahit sekitar 700 tahun yang lalu. Kakawin Nāgara K.rtagama hancur bersama runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Namun, kemungkinan ada yang sempat menyelamatkan ke Bali, disalin di Desa Kamalasana dan salinannya disimpan di Gria Pidada, Karangasem, Bali. Selain itu, salinan satunya ada di Puri Cakra Nagara, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat pasukan Belanda menyerbu Lombok tahun 1894 ditemukanlah naskah tersebut dan diberi catatan oleh C.C. Berg menjadi Nāgara K.rtagama. Sesuai dengan etimologi istilahnya, aturan-aturan pembaitan atau metrum kakawin merupakan adaptasi metrum kawya (puisi India). Para kawi ‘penyair’ (Jawa kuno) memiliki sanggit ‘kreativitas’ untuk mengembangkan kakawin sebagai tradisi. Aturan metrum tersebut berupa 1) jumlah suku kata tiap baris yang cenderung sam

Novel Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat: Kelokalan Jawa dalam Narasi Sejarah Versi Kaum Minoritas

Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Dalam sejarah pemikiran dan polemik kebudayaan yang panjang di masa lalu, ternyata telah begitu jauh bersinggungan dengan sisi sensitif nasionalisme dan kejatidirian kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa.Salah satunya terwujud pada sastra yang memperlihatkan bentuk struktural dari situasi historis, yaitu novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, Centhini karya Sunardian Wirodono, dan Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani. Dalam konteks itu, ketiga novel tersebut merupakan novel sejarah yang bersumber dari Babad Tanah Jawi (Roro Mendut), Babad Tanah Jawi dan Babad Demak (Madam Kalinyamat), dan Serat Centhini (Centhini).Konklusi harapan besar dari komitmen sejarah membuka pemahaman bagi pembaca awam sebab budayanya dapat mempertahankan kelestarian ‘seperangkat mitologi’ penuh daya pengaruh yang dapat menyusup ke dalam liku masyarakat Jawa. Unsur-unsur sejarah ditunjukkan dengan memunculkan tokoh-tokoh—yang berdasar sumber lain diakui sebagai pel