Langsung ke konten utama

Gambaran Politik, Ideologi, dan Kekerasan Drama Mangir Karya Pramoedya Ananta Toer

Gambaran Politik, Ideologi, dan Kekerasan

Drama Mangir

Karya Pramoedya Ananata Toer

Puji Retno Hardiningtyas

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan gambaran politik, ideologi, dan kekerasan drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. Drama politik, umumnya memainkan peranan utama dalam karya sastra, karya sastra tanpa politik seakan terasa “mentah.” Dalam bentuk yang ideal, drama politik berisi ketegangan internal, yaitu ketegangan perilaku dan perasaan seorang tokoh, di samping itu harus mengisyaratkan ideologi modern. Ideologi umumnya bersifat abstrak dalam pikiran tokoh. Konflik dan kekerasan dalam drama Mangir mampu memikat pembaca, karena drama itulah politik dan ideologi ditampilkan sekaligus dipertahankan, serta gagasan tentang keterlibatan sastra dan pengarangnya juga merupakan alegori yang ironis, yang dimaksudkan sebagai sindiran terhadap konflik antarpenguasa.

The research aims to describe the illustration of politic, ideology, and strife on the play of Mangir by Pramoedya Ananta Toer. Basically politic plays an important role in a literary work, and literary work without politic seems anconditional. In the ideal form, politic play consists of internal tentions, those are, behaviour tention and the sense of the figure, besides, they must show the modern ideology. The ideology, generally, is in the form of abstract in the figure’s mind. The conflict and strife on the play of Mangir are able to attract the readers since the politic and ideology are performed and still kept as well as the idea about, the literary involvement and author involvement in politic and ideology. On the other hand the play of Mangir is also an ironi allegory, means as the allusion to the conflict among the competent authority.

Kata kunci: Sastra, politik, ideologi, dan kekerasan

Key word : Literature, politic, ideology, and strife

Pendahuluan

Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer, ditulis pada tahun 1976 berdasarkan cerita yang masih dingat oleh masyarakat di Jawa Tengah. Cerita Mangir tidak tercatat dalam dokumen tertulis keraton yang ditulis dalam Babad Tanah Jawi (BTJ, versi rangkuman Olthof, Leiden, KITLV, 1987).

Cerita lisan yang tercatat, seperti Jaka Tingkir, yang nantinya bernama Adiwijaya dan menjadi penguasa Kerajaan Pajang bergelar Sultan Pajang. Drama Mangir merupakan cerita Panembahan Senapati dari Kerajaan Mataram yang berkuasa pada abad ke-16. Sejarah Mataram dalam penulisan babad dicatat sebagai lanjutan Pajang.

Untuk karya Pramoedya Ananta Toer tidak hanya bersandar pada pengalaman langsung yang dialami atau disaksikannya. Pramoedya Ananta Toer mulai mengarap realitas sejarah. Contoh drama Mangir, yang mengisahkan sejarah Mataram dengan Perdikan Mangir. Meskipun tetap bernuansa ideologis dan tidak pernah kehilangan tendensinya untuk selalu berpihak pada kemanusiaan dan keadilan.

Cerita lisan ini, baik masyarakat Mangir ataupun Mataram sama-sama memperkokoh sistem pertahanan mereka dengan pasukan yang terlatih dalam teknik perang. Untuk memperdaya Perdikan Mangir, Panembahan Senapati, menugaskan Pambayun, puterinya, untuk memperkokoh sistem politik ekspansi Mataram.

“Masih belum kenal kau apa itu raja? Raja zaman sekarang? Masih belum kenal kau siapa Panembahan Senati? Mula-mula membangkang pada Sultan Pajang, ayah angkat yang mendidik membesarkannya, kemudian membunuhnya untuk bisa marak jadi raja Mataram? Adakah kau lupa bagaimana Trenggono naik takhta, hanya melalui bangkai abangnya? Apakah kau sudah pikun tak ingat bagaimana Patah memahkotai diri dengan dusta, mengaku putera Sri Baginda Bhre wijaya?” (M, 2000:21)

Gambaran di atas merupakan daya tarik yang diperlihatkan oleh Pramoedya, kekuatan yang khas dengan gambaran realitas, yang memberikan bentuk nyata pada sistem politik, ideologi, dan kekerasaan yang terjadi pada masa revolusi.

Dalam drama politik, ideologi, dan kekerasaan, ketiga faktor ini merupakan hal yang sulit dipisahkan yang memiliki ciri khusus tentang arti sejarah masyarakat.

Menurut Damono (1978:49) mengemukakan dalam bentuknya yang paling ideal karya sastra (drama, novel) politik adalah karya sastra yang berisi ketegangan internal. Untuk bisa dianggap karya sastra, karya sastra harus berisi penggambaran perilaku dan perasaan manusia; di samping itu harus meresapkan ideologi modern.

Dengan demikian drama politik, dalam melaksanakan politik harus becermin pada ideologi, begitu pula ideologi dibutuhkan dalam melaksanakan politik yang menimbulkan dampak kekerasan. Dampak kekerasan yang ditimbulkan politik akibat kejujuran dan keadilan yang tidak seimbang yang dilakukan pemimpin dalam melaksanakan ideologinya agar rakyatnya mengikuti ideologinya itu. Dengan demikian, politik, ideologi, dan kekerasaan memiliki ikatan yang erat.

Politik adalah (1) ilmu politik, pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau; (2) segala urusan dan tidakan mengenaai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; (3) kebijakan, cera bertindak dalam menghadapi sesuatau (dagang, bahasa, kebudayaan, pertahanan). Jadi, politik adalah suatu cara untuk mengatur atau mengolah bagaimana memperoleh kekuasaan dalam negara, mengatur hubungan pemerintah dengan rakyat atau sebaliknya (Alwi, et all 2002:886). Sedangkan ideologi menurut Alwi et all (2002:417) (1) kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; (2) cara berpikir seseorang atau suatu golongan; (3) paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik. Jadi, ideologi adalah suatu paham, teori, dan cara berpikir seseorang atau golongan tertentu yang memiliki satu tujuan sosial politik sama. Kekerasan adalah (1) perihal (yang bersifat, berciri) keras; (2) perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang; (3) paksaan (Alwi et all 2002:550). Jadi, kekerasaan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang bersifat keras, paksaan, yang menimbulkan kerugian barang, fisik seseorang atau hilangnya nyawa seseorang. Dengan demikian, politik, ideologi, dan kekerasaan mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan manusia.

Sastra, Politik, Ideologi, dan Kekerasan

Menurut Stendhal (lihat Howe 1967:17-26, dalam Damono 1978;49) bahwa “Dalam karya sastra, politik adalah seumpama letusan pestol di tengah pergelaran konser; ia terdengar keras dan kampungan, tetapi mau tak mau kita pasti mempertahankannya.”

Dalam analisis sastra, terutama drama politik, politik memiliki peran utama dan setting politik adalah setting utama. Penggambaran politik diperlihatkan pada perilaku atau tingkah laku dan perasaan seseorang tokoh, selain itu unsur ideologi juga perlu disisipkan. Drama merupakan dialog-dialog tokoh yang tersirat pada ungkapan perasaan, emosi, dan hawa nafsu, tetapi hal paling penting drama menampilkan realitas sosialis.

Suatu karya sastra hanya akan dinilai baik apabila karya tersebut ditulis oleh seorang pejuang revolusioner dan memperjuangkan klas proletar yang tertindas. Pendekatan sosialis Marxis ini dengan kriterium penilaian sastra. Sebagai pejuang realisme sosialis, pengarang memang mempunyai maksud dan suasana politik, yakni perjuangan klas sosial sehingga setiap karya sastra harus dipandang sebagai ideologi pribadi pengarangnya (Damono 1978:75).

Pembahasan sastra semata-mata atas suatu karya sastra politik adalah dangkal dan menyesatkan karena tidak sampai pada titik-titik yang tersembunyi di balik peristiwa sastra itu. Pembahasaan sastra dalam kamus Marxisme adalah suatu sosialisasi politik dalam proses pembentukan masyarakat sosialis dan komunis.

Politik adalah tindakan berupa kebajikan, siasat, stategi dan sebagainya yang dilakukan dalam suatu kegiatan pemerintahan negara, masyarakat, ataupun organisasi tertentu untuk mendapatkan kekuasaan yang diinginkan. Politik melibatkan jiwa-jiwa perorangan secara langsung dan tidak langsung di bidang politik. Perorangan atau tokoh politik berjuang untuk kepentingan politiknya, baik pemerintah maupun organisasi tertentu demi negara dengan tujuan mendapatkan kekuasaan yang adil. Namun umumnya, tokoh politik secara tidak transparan mengakui “Siapa kuat, dialah yang menang.” Dalam hal ini karya sastra sebagai media untuk meluruskan politik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari baik dalam negeri maupun politik luar negeri. Tetapi, tidak sekarang ini pengarang justru menutup diri melihat permasalahan politik yang terjadi akhir-akhir ini. Misalnya, para tokoh politik bangsa Indonesia yang sibuk memperebutkan “kursi” di pemerintahan, kondisi Aceh non-Indonesia, tokoh politik menjatuhkan tokoh politik lainnya, dan sebagainya. Pengarang Indonesia masih kurang peka terhadap permasalahan politik di Indonesia. Sedikit pengarang Indonesia yang mengangkat karya-karya realis sosialisme, persoalan politik yang terjadi di negara Indonesia. Hal ini membuktikan minimnya kesusastraan Indonesia kekurangan drama, novel, dan puisi politik masa ini.

Sudah waktunya para sastrawan Indonesia menggarap karya-karya sastra melalui drama, novel, cerpen, ataupun puisi dengan permasalahan politik yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Gagasan sastrawan merupakan hal wajar untuk mewakili hati nurani rakyat Indonesia, untuk instropeksi bangsa Indonesia sendiri dalam memperbaiki persoalan politik yang diragukan dunia luar.

Untuk memasukan unsur politik dan ideologi dalam karya sastra, memang hal yang bertentangan. Politik merupakan hal utama sebagai latar utama dan akhir, sedangkan ideologi merupakan hal yang bersifat umum. Menurut (Damono 1978:49) justru dalam hal konflik sedemikian itulah novel atau drama politik mampu memikat kita. Yang ditampilkannya adalah sebuah drama yang menegangkan. Belum cukup dikatakan bahwa ideologi hanya mengganggu karya sastra (drama), hal ini merupakan tantangan utama bagi pengarang, yang harus memusatkan segala keterampilan untuk mengatasi barang abstrak itu agar bisa masuk ke karya sastra (drama) yang ditulisnya.

Gambaran ideologi sudah ada sejak angkatan ’45. para sastrawan angkatan ’45 telah memperlihatkan karya-karyanya dengan ideologi yang merupakan revolusi kesusatraan Indonesia. Ideologi tidak dapat dipisahkan dari politik, ini jelas terlihat pada karya puisi, cerpen, novel, dan drama yang ditulis sastrawan angkatan ’45. Sebagai pelopor kesusastraan revolusi, Chairil Anwar dan Idrus memunculkan ideologi baru yang diidamkan oleh pengarang tersebut.

Menurut Siregar (2002:5) cerpen Idrus berjudul “Surabaya” serta puisi-puisi Chairil Anwar, seperti “Diponegoro” dan “Persetujuan dengan Bung Karno,” menyampaikan “ideologi kemerdekaan” yang sangat didambakan oleh bangsa Indonesia. Gambaran ideologi dalam karya sastra Indonesia ini kemudian berlanjut pada tahun 60-an yang melahirkan kebudayaan (Manikebu). Pada masa itu Manikebu dilarang oleh presiden Soekarno karena dianggap menyampaikan ideologi yang bertentangan dengan kekuasaan dan politik (pemerintah). Pada saat inilah terjadi “perang pena” yang seru di antara sastrawan Lekra (yang berideologi “komunis” atau “realisme sosialis”) dengan sastrawan Manikebu (yang berideologi “humanisme universal”). Warna-warni ideologi mendominasi polemik-polemik mereka ketika itu. Akibatnya, polemik-polemik itu tidak lagi objektif, tetapi menjadli subjektif sesuai dengan pandangan ideologi mereka masing-masing. Mereka telah terbawa oleh emosi ideologis daripada membicarakan nilai-nilai seni dan getaran artistik dalam karya sastra.

Dalam sejarah kesusastraan Indonesia angkatan ’66 lahir dari peristiwa pembubaran G 30 SPKI tahun 60-an, politik dan ideologi mengalami klimaks pesat dalam dunia sastra. Karya-karya pada masa angkatan ’66 mulai mengarap realitas ideologi yang tidak terang-terangan mengkritik politik dan pemerintsh Indonesia. H.B. Yasin merupakan salah satu sastrawan yang mengangkat ideologi dalam karya-karyanya. Sajak-sajak demontrasi merupakan “alat ideologi” yang kuat sebagi perwakilan hati nurani rakyat. Karya sastra yang mengetengahkan persoalan ideologi komunis, ketidakadilan dan kesewenangan para pemimpin pada masa pemerintahan presiden Soekarno. Tahun 1998, muncul masa pembaharuan pemerintahan, masa reformasi, dan masa demokrasi yang sebenar-benarnya. Masa reformasi yang memperjuangkan keadilan untuk rakyat Indonesia, mahasiswa sebagai suara yang mewakili rakyat yang menderita. Pada masa inilah sastrawan Indonesia mulai mengarap ideologi yang tecermin dalam karya-karyanya. Misalnya, Taufik Ismail dalam karyanya yang berjudul “Malu Aku Jadi Orang Indonesia,” karya-karya yang secara terbuka mengkritik pemerintah, politik negara Indonesia yang mengalami krisis kepercayaan. Selain itu, Seno Gumiro Aji Darma dalam dramanya “Mengapa Kau Culik Anak Kami,” merupakan empat kumpulan drama tragedi berdarah 1998, terjadi pada masa reformasi. Jadi, jelas bahwa politik dan ideologi sastrawan Indonesia kembali cerah yang tertuang dalam karya-karyanya.

Gambaran kekerasan, sejak sebelum Indonesia merdeka, sudah terpancar dalam karya-karya sastrawan Indonesia. Dalam buku Negara krtagama, pada zaman Kerajaan Majapahit dengan raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada mengalami puncak kejayaan, mempersatukan wialyah nusantara. Kekerasaan terjadi pada saat puteri Hayam Wuruk akan dipinang oleh putera makhota dari kerajaan Malaka. Utusan kerajaan Malaka tidak diterima baik oleh Hayam wuruk hingga terjadi tindakan kekerasaan. Karya ini menunjukkan bahwa politik, ideologi, dan kekerasaan sudah dikuasai oleh sastrawan Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, pengarang Inonesia mempunyai hak penuh untuk menciptakan kebebasan berpolitik, berideologi, dan menciptakan kekerasaan dalam karya-karyanya. Di antara karya-karya Pramoedya Ananta Toer, gambaran politik, ideologi, dan kekerasaan terlihat jelas dalam drama Mangir.

Cerita ini terjadi antara naiknya Panembahan Senapati menjadi raja Mataram (1575-1601) sampai kira-kira tahun 1977, lebih jelasnya, cerita permusuhan Mataram dan Perdikan Mangir. Puncak peristiwa drama Mangir terjadi di keraton Senapati, di Negara gung Mataram, yang dikenal sebagai Kota Gede. Dalam sebuah pertemuan keluarga, Senapati menjebak dan membunuh menantunya, Wanabaya, panglima pasukan pertahanan Desa Perdikan Mangir. Peristiwa dramatik tersebut terjadi di depan mata Pambayun, puteri Senapati yang mengandung janin dari perkawinan dengan Wanabaya. Hadir juga dalam pertemuan tersebut penasihat Senapati Juru Martani. Paman Senapati ini, dari pihak ibu, telah membantu membina Mataram. Sesuai namanya, paman ini menyumbangkan pandangannya sebagai ahli membaca situasi lapangan. Selain mereka, hadir juga sebagai saksi peristiwa tersebut Ki Ageng Pemanahan, ayahanda Senapati, yang tidak lain tokoh pendiri Mataram.

Drama Mangir: Gambaran Politik

Dalam drama Mangir, Mataram mempunyai kekuasaan politik yang lebih mantap daripada Mangir.. Mataram melalui tokoh Pambayun, puteri pertama Panembahan Senapati, menyamar menjadi waranggana, memperdaya kekuatan Perdikan Mangir. Ki Ageng Wanabaya, lengah akhirnya menikahi Pambayun, dengan persetujuan Baru Klinting dan keempat demang Perdikan Mangir. Politik Panembahan Senapati mengutus puterinya dan didampingi oleh Ki Juru Martani yang tidak lain adalah Tumenggung Mandaraka, penasihat Kerajaan Mataram, kepala rombongan telik Mataram yang mampu merobohkan sistem politik Perdikan Mangir. Peristiwa itu digambarkan dalam drama Magir sebagai berikut.

“Inilah Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya, datang menggandeng tandak tanpa tandingan (menatap mereka seorang demi seorang). Tak ada yang menyambut Ki Wanabaya? Baik Adisaroh yang jaya, berilah hormat pada para tetua Perdikan.” (M:21.182)

“(Tetap dalam gandengan Wanabaya). Inilah Adisaroh waranggana bayaran, mengembara dari desa ke desa mencari penghidupan, (memberi hormat dengan gerak badan). Di belakang menyusul rombongan wiyaga.” (M, 2002:21)

“Dirgahayu kaliam semua, Mangir selalu sambut tamu-tamunya, dengan gembira dan tulus hati. Dirgahayu Adisaroh, waranggana tanpa tara dan rombongan. (mengangkat dagu menatap Wanabaya). Dan kau, wajahmu seperti masih di medan – perang, menggandeng putri cantik dihadapan kami. Katakan kandungan hati, sebelum salah terka kami menebak isi dadamu.” (M, 2002:21)

“Memalukan seorang panglima, karena kecantikan perawan telah relakan perpecahan. Berapa banyak perawan cantik di atas bumi ini? Setiap kali kau tergila-gila seperti seekor ayam jantan, tahu sarang, tapi tak kenal kandang.”(M, 2002:32)

“Apa guna kau coba dekati jagang tombak? Hanya karena wanita hendak robohkan teman sebarisan? Tidakkah kau tahu, dengan jatuhnya semua temanmu kau akan diburu-buru Mataram seperti babi hutan?” (M, 2002:34)

“Dengar kalian semua: terhadap Mataram sikap Wanabaya tak berkisar barang sejari. Izinkan aku kini memperistri Adisaroh. Tanpa mendapatkannya aku rela kalian tumpas di sini juga. Jangan usir aku, telepas dari Perdikan ini. Beri aku anggukan, Klinting, dan kalian para tetua, gegeduk rata Mangir yang perwira. (Berlutut dengan tangan terkembang ke atas pada orang-orang dihadapannya). Aku lihat tukuh tombak berdiri di jagang sana. Tembuskanlah dalam diriku, bila anggukan tiada kudapat. Dunia jadi tak berarti tanpa Adisaroh dampingi hidup ini.” (M:36.438)

“Kita semua masih curiga siapa warnggana dan rombongannya. Kalau ada Suriwang, dia akan bilang: Ai-ai-ai memang tak bias lain. Tanpa Wanabaya cerita akan mengambil suara lain. Dilarang pun akan berkembang lain. Pukul tenggara, pertanda pesta panen dibuka.” (M:38.559)

Wanabaya adalah tokoh utama dalam Perdikan Mangir, digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai seorang pemimpin yang lemah, lengah dengan kehadiran wanita disampingnya, tetapi ia tetap seorang pemimpin yang tangguh ketika menghadapi Mataram. Wanabaya, tidak melihat dengan seksama bahwa Mataram memiliki kekuatan politik yang kuat. Panembahan Senapati tidak segan-segan melakukan berbagai strategi untuk mengalahkan Mangir, salah satunya dengan mengorbankan puteri kandungnya sendiri, Pambayun, demi ambisi kekuasaannya. Panembahan Senapati, dengan bantuan Tumenggung Mandaraka, ahli perang, penasihat Mataram, mampu menaklukkan Wanabaya Tetua Perdikan Mangir. Dengan politik memecah belah, adu domba, menjebak, dan politik “halus dan tersembunyi,” berhasil mengalahkan Mangir. Panembahan Senapati menggunakan strategi politik “halus dan tersembunyi,” dilakukan karena Wanabaya begitu kuat dan tangguh dalam strategi politik mempertahankan Perdikan Mangir. Namun, dengan diutusnya, Puteri Pambayun, yang menyamar sebagai waranggana bersama adiknya, Pangeran Purbaya, dan Tumenggung Mandaraka, akhirnya berhasil menaklukkan Wanabaya dan pasukan Perdikan Mangir. Gambaran adu domba dan pecah belah, terlihat jelas ketika Wanabaya mempertahankan Adisaroh. Wanabaya berselisih, bertengkar, bahkan bersebrangan dengan Baru Klinting, dan keempat Demang Perdikan Mangir. Wanabaya hampir memecah belah kekuatan dan kekompakan pasukan Mangir hanya untuk mempertahankan Adisaroh, pada saat perang belum selesai, Perdikan Mangir sedang mempersiapkan menghadapi Kerajaan Mataram. Kelemahan inilah yang diharapkan Panembahan Senapati untuk mengalahkan Wanabaya. Tidak hanya itu, Panembahan Senapati menjebak Wanabaya, mengundang Wanabaya ke Kerajaan Mataram bersama Pambayun, dengan alasan merestui pernikahan Wanabaya dan Pambayun. Dalam pertemuan keluarga itu, Senapati membunuh Wanabaya, dan menghancurkan pasukan Perdikan Mangir di depan Pambayun yang sedang mengandung janin dari pernikahannya dengan Wanabaya. Peristiwa ini merupakan puncak peperangan antara Mataram dan Mangir. Lebih lanjut Pramoedya Ananta Toer dalam drama Mangir (2002), menggambarkan politik Panembahan Senapati sebagai berikut.

“Nenenda Mandaraka, ingatkan neneda waktu kita tinggalkan kraton Mataram, ke utara ke sendang Kasihan, di malam buta tanpa saksi mata.” (M:46.629)

“Ya-ya, cucunda, untuk mengemban tugas Mataram, kita bersama datang kemari.” (M, 2002:46)

“Bukankah di Sendang Kasihan juga, di malam buta, bintang pun segan melihat pada kami, nenenda Mandaraka bilang begini: Cucunda Puteri, dalam sekejab mata Ki Ageng Mangir Muda akan jatuh tergila-gila, menyembah kaki cucunda putri mengemis kasih?” (M, 2002:47)

“Sahaya yang jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.” (M, 2002:47)

“tidak mengapa, si Wanabaya telah dalam kekuasaan Gusti Putri, perpecahan telah terjadi dengan si Ular Baru Klinting.” (M, 2002:47)

“Demi Sang Baginda Panembahan Senapati, bohong, dan dusta tiada, karena raja adalah dewa di atas bumi. Semua laku melaksanakannya tak mungkin keliru.” (M, 2002:48)

“Bukan mengkhianati, hanya membawanya menghadap ayahandamu baginda, ayahandamu sendiri.” (M, 2002:48)

“Akan ditumpas dia oleh ayahanda. Putra sendiri ayahanda tega menyudahi, apa pula hanya menantu anak desa.” (M, 2002:49)

“Sedang prajurit Mangir hndak digiling musnah, apa pula orang pertama, panglima dan Tua Perdikan.” (M, 2002:49)

“Putri, Putri Pambayun Gusti, sulung permaisuri, cucunda bukan warga Perdikan, Mangir atau mana saja. Cucunda darah Mataram, langit tak dapat mengubah, bumi tak dapat mengganti. Mangir bukan Mataram. Mataram bukan Mangir. Ayahandamu bukan Ki Ageng dari desa mana pun, satu-satunya: Panembahan Senapati ing Ngalaga, satu-satunya di bumi Jawa.” (M, 2002: 49)

“Menenda Tumenggung Mandaraka Juru Martani ini akan atur semua. Sekarang hari terakhir. Ditambah tidak bisa. Seminggu lagi cucunda, Mataram akan berpesta menunggu Putri Pambayun dengan putra dalam kandungan calon raja Mataram, raja seluruh bumi dan orang Jawa, dengan Ki Ageng Mangir Muda, putra menantu Tua Perdikan dalam pengukuhan. Datang, cucunda. Jangan kecewakan ayahanda baginda dan Mataram. Gamelan akan menyambut sepanjang jalan, umbul-umbul akan berkibaran setiap langkah, permusuhan sekaligus akan selesai, tak perlu ada prajurit tewas, karena damai mewangi dalam hati dan mengharumi bumi. Bila tidak, seluruh prajurit Mataram akan tumpah landa Mangir. Semua rahasia Perdikan telah di tangan nenenda ini. Izinkan kini, nenenda minta diri. (Memberi hormat, meninggalkan panggung).” (M, 2002:56)

“Baiklah, seluruh kekuatan dikerahkan masuk bentng Mataram. Patalan! Berangkat kau sekarang juga ke Mataram, kibarkan tinggi bendera Mangir pertanda duta. Sampaikan, pada hari yang sama Minggu mendatang, Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya dan istri, Putri Pambayaun, akan dating bersembah bakti pada Panembahan Senapati. (Berpaling pada Wanabaya). Berperisai kalian berdua, kita akan langsung masuk benteng menyerang istana, tetap kau pada pendirianmu, Nyi Ageng Mangir Muda?” (M, 2002:75)

Panembahan Senapati dengan rencanan jahatnya, menjebak Wanabaya, Perdikan Mangir beserta pasukannya masuk ke Mataram. Dengan politik “halus dan tersembunyi,” mengundang menantunya untuk dikukuhkan sebagai menantu Panembahan Senapati, merestui perkawinan Wanabaya dengan Putri Pambayun. Namun, Panembahan Senapati tidak menyia-nyiakan kesenpatan ini, dengan kelicikannya Panembahan Senapati, justru membunuh menantunya sendiri di depan mata Putri Pambayun. Sudah tentu benyak korban akibat peristiwa itu, pasukan kerajaan Mataram menyerbu dan menghabisi pasukan Mangir sebelum memasuki pintu gerbang kerajaan Mataram. Strategi tipu daya, intrik, dan kebutralan politik yang dilakukan Panembahan Senapati untuk merebut, mendapatkan, dan menguasai wilayah kekuasaan Mangir berhasil dengan gemilang. Gambaran ini disebutkan Pramoedya Ananta Toer sebagai berikut.

“(Melintasi depan takhta menghampiri Ki Ageng Pemanahan). Hari ini hari pesta, hari besar segala, takakan terlupakan sepanjang zaman. Wanabaya akan datang untuk kutip kebinasaannya sendiri. Mataram tinggal jaya megah untuk selama-lamanya. (Tertawa terangguk-angguk). Ki Ageng Pemanahan, adinda, putramu baginda, dengan tamatnya Wanabaya, takkan lagi terhalangi, lusakan daerah praja sampai hanya laut batasnya, melingkupi seluruh bumi Jawa.” (M, 2002:79)

Politik Panembahan Senapati dalam merebut Perdikan Mangir sangat kuat. Hal ini dapat diketahui dari siasat Tumenggung Mandaraka, sebagai penasihat Mataram, dan kepala rombongan telik Mataram yang berhasil menjebak, mengadu domba, memecah belah Wanabaya dan pasukannya. Dan akhirnya, Panembahan Senapati mampu membawa Wanabaya menghadap dan menyerahkan nyawanya sendiri beserta kehancuran pasukan Perdikan Mangir ke kraton Mataram. Dengan menghalalkan cara, akhirnya Panembahan Senapati berhasil mencapai cita-citanya menguasai Perdikan Mangir, mengorbankan nya banyak orang, termasuk menantu, dan puteri kandungnya, keturunannya sendiri.

Drama Mangir: Gambaran Ideologi

Dalam menggambarkan perjuangan, Pramoedya Ananta Toer, menyusekseskan ideologinya, tertuang dalam drama Mangir, disebut ideologi relisme sosialis. Ideologi ini merupakan ideologi politik yang bersumber dari realitas sejarah dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Ideologi drama Mangir lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut.

“(Masih menatap menggandeng Putri Pambayun). Kalian terlonggok seperti melihat naga.. mata kalian pancarkan curiga dan hai tak suka. Katakana, siapa tak suka Wanabaya dating menggandeng perawan jelita. Katakana, ayoh katakana siapa tidak suka.” (M, 2002:22)

“Sungguh tidak patut, seakan perdikan tak bias berikan untukmu lagi.” (M, 2002:22)

“Siapa lagi katakana tidak patut?” (M, 2002:22)

“Tidak pautu untuk seorang panglima.” (M, 2002:22)

“Semula kukira sekadar bersuka.” (M, 2002:22)

“Juga akan kau katakana tidak patut.” (M, 2002:22)

“Waranggana masyhur, lenggangnya membelah bumi, lenggoknya menyesak dada, senyumnya menawan hati, tariannya mengemaskan, sekarang tingkahnya bikin susah semua orang.” (M, 2002:22)

“Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, bukan hanya perkara suka tau tidak, patut atau tidak, bias pimpin diri sendiri atau tidak, kau dsendiri yang lebih tahu! Perdikan ini milik semua orang, bukan hanya Wanabaya Muda si Tua Perdikan Mangir.” (M, 2002:22)

“Adisaroh, mari kita pergi. Mereka bertengkar karena kita.” (M, 2002:23)

“(Menoleh pada Tumenggung Mandaraka). Tak ada yang bias larang Wanabaya di rumah ini, menggandeng Adisaroh jaya. Adisaroh, adakah takut kau hadapi para tetua desa ini?” (M, 2002:23)

“Bicaralah kau sepuas hati.” (M, 2002:24)

“Biar kami tahu apa dihatimu, bias kami kaji dan uji. Oh, perang belum lagi selesai, kemenangan belum lagi terakhir…kasmaran tanda lupa daratan, Mataram masih jaya berdiri.” (M, 2002:24)

Gambaran pemaksaan ideologi dalam drama Mangir, dikemukakan oleh Pramoedya Ananta Toer dengan adanya perpecahan, pertengkaran, dan saling mencurigai di antara pemimpin pasukan Perdikan Mangir, yaitu Wanabaya, Baru Klinting, Demang Jodog, Patalan, Pandak, dan Panjangan karena mempunyai pandangan yang berbeda dengan permasalahan Wanabaya yang ingin menikah dengan Adisaroh, waranggana yang tidak diketahui asal usulnya, ditentang para tetua Perdikan Mangir mengingat situasi masih menghadapi perang melawan Mataram. Baru Klinting, tetua Perdikan Mangir, pemuda, 26 tahun, prajurit, ahli siasat, pemikir, sedang menyusun taktik perang dan membuat tombak pusaka untuk melawan Mataram. Intrik dan pertentangan melalui perang dan wanita yang dihadapi Wanabaya, Ki Ageng Mangir, pemuda 23 tahun, prajurit, pendekar, panglima Mangir, tetua Perdikan Mangir, sedangkan baru Klinting dan keempat demang Mangir mengharapkan Wanabaya memikirkan perang melawan Mataram, bukan malah menentang, memecah belah pasukan Mangir demi Adisaroh. Masalah ini tampak ketika diketahui Adisaroh ternyata Putri Pambayun telik Mataram, utusan Panembahan Senapati, yang tidak lain ayahandanya sendiri. Ideologi pemaksaan juga dimiliki Panembahan Senapati terhadap anaknya sendiri dan pasukan-pasukan Mataram dengan menghalalkan cara mengalahkan Mangir. Dengan menyamarnya Putri Pambayaun, akhirnya Panembahan senapti berhasil mengetahui kelemahan Wanabaya dan pasukan Pedikan Mangir. Permasalahan ini dapat dilihat dalam drama Mangir sebagai berikut.

“Diam! Kita semua bersalah. Istriku dapat dan boleh dihukum, tapi tak rela aku siapapun hinakan dia. Juga aku dan kalian semua patut dihukum karena kurang waspada.” (M, 2002:74)

“Baik., seluruh kekuatan dikerahkan masuk benteng Mataram. Patalan! Berangkat kau sekarang juga ke Mataram, kibarkan tinggi bendera Mangir pertanda duta. Sampaikan, pada hari yang sama minggu mendatang, Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya dan istri, bakti pada Panembahan Senapati. (Berpaling pada Wanabaya) Berperisai kalian berdua, kita akan langsung masuk benteng menyerang istana. Tetap kau pada pendirianmu, Nyi Ageng Mangir Muda?” (M, 2002:75)

“Berbaris kita semua langsung masuk istana Mataram.” (M, 2002:75)

“Penyelesaian gilang gemilang. Langsung ke Mataram!” (M, 2002:76)

Tekad dan janji Wanabaya dan Baru Klinting untuk bersatu memperjuangkan Perdikan Mangir dengan mengambil hikmah dari pemaksaan ideologi yang dilakukan Wanabaya, apa yang terjadi merupakan beban bersama yang harus diselaesaikan dengan baik. Akhirnya Wanabaya dan Putri Pambayaun menghadap Panembahan senapati untuk mendapatkan restu dari perkawinan meraka.

Penyelesaian yang gemilang ini yang mendorong Wanabaya dan pasukan Mangir hancur di Kerajaan Mataram. Wanabaya terbunuh, pasukan Mangir kalah, akibat Wanabaya yang melakukan pemaksaan ideologi yang salah.

Selain ideologi Wanabaya yang memaksakan kehendak dan mengakibatkan Perdikan Mangir jatuh di tangan Panembahan Senapati. Panemabahan Senapati juga memiliki ideologi yang dipenuhi intrik, sikap, dan langkah yang tidak baik. Adapun gambaran ideologi Panembahan senapati oleh Pramoedya Ananata Toer dijelaskan sebagai berikut.

“Dengrakan sekarang. Betapa mesti kau bangga, Pambayaun telah melaksanakan tugasnya. Dia telah berhasil belah dwi-tunggal Klinting-Wanabaya. Tanpa Klinting, Pamanahan adinda, si akal tajam, anak haram Ki Ageng Mangir Tua, terkucilkan tadinya dari masyarakatnya, hidup melata di bawah baying-bayang, kulit busik bersisik, melata-lata seperti ular di balik-balik ranting.” (M, 2002:84)

“Ayahanda yang berbahagia, buang dari hati Klinting dan wanabaya, duri di mata Mataram. Sekarang balatentara Mangir sedang mendatangi, dengan Pambayaun dan suami sebagai perisai. Meleset dari rencana, Mangir akan mengamuk di dalam benteng, binatang-binatang dengan kejahatan dalam kalbunya itu.” (M, 2002:91)

“Sahaya hanya anak wayang di tangan Yang Maha Kuasa. Pesaing dan pelawan Mataram, semua yang masih tegak dan berdiri, wajib runduk berkiblat pada takhta ini. Mataram tak sudi berbagi. Mataram berdiri berarti, Yang Maha Kuasa kodratkan semua jadi miliknya. Yang melintang patah, yang membujur gugur, yang tegar renah. Karena ayahanda, tak ada gunanya Yang Maha Kuasa benarkan putranda jadi raja, bila yang lain-lain tidak dikodratkan merangkak di bawah kakinya.’ (M, 2002:97)

Keinginan dan tekad kuat Tumenggung Mandaraka untuk mengalahkan dan merebut Mangir, ikut mendorong Panembahan Senapati sampai pada puncak kekuasaan tunggal di Mangir dan kerajaan Mataram. Panembahan Senapati melaksanakan ideologi pemaksaan yang diwarnai dengan tipu daya, kecurangan, dan sikap tidak kejujuran seorang penguasa.

Drama Mangir: Kekerasan Politik dan Ideologi

Kekerasan yang dimunculkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam drama Mangir begitu jelas dan realita sejarah. Berdasarkan kehadiran karya satra, politik, ideology umumnya kekerasan muncul karena adanya pelaksanaan politik dan pemaksaan ideologi. Politik umumya dilakukan dengan berbagai cara, baik itu benar atau salah. Politik yang salah menimbulkan kekerasan, tetapi tidak kemungkinan juga politik yang benar juga dapat menimbulkan kekerasan, baik batin maupun fisik. Kekerasaan batin dapat dilihat pada gambaran Pramoedya Ananta Toer sebagai berikut.

”Suami gagah berani tak seperti dia, tampan dermawan, kasihnya tidak tara. Di mana lagi seorang wanita dapatkan suami seperti dia! (membelai perut). Kau jabang bayi, Ki Ageng kecil, jangan perlakukan ibumu nanti bila saksikan matari. (Kembali ke bawah pohon mangga dan duduk di atas bangku, berkecap sebentar). Ah-ah, hari tugas terakhir habisnya suatu perjanjian.” (M, 2002:45)

“Juga membunuh dan mengkhianati! (Terjerit dari balik telapak tangan). Mengerti sahaya kini, mengapa kakanda Rangga, putra pertama dari ibu Jipang-Panolan, putra ayahanda sendiri, dibunuh oleh ayahanda, digantung pada puncak pohon ara.” (M, 2002:48)

“(Membelalak ketakutan dalam mengingat-ingat). Masih ingat sahaya, waktu itu, ayahanda baginda habis titahkan bunuh kaknda Rangga, agar digantung dengan tali pada puncak pohon ara. Kemudian dating warta, titah telah terlaksana, tubuhnya tergantung-gantung tertiup angina dari Laut Kidul, bakal habis dimangsa gagak dan elang. Mengigil ketakutan sahaya bersujud pada ayahanda, takut dibunuh maka persembahkan janji bakti, apa saja baginda kehendaki.” (M, 2002:50)

Di Perdikan Mangir Putri Pambayun menjadi istri Wanabaya, diberi tempat tinggal khusus gandok, hidup bahagia bersama suami dan Pambayun mengandung darah daging Wanabaya, musuh ayahanda. Dialog antara Pambayun dan Tumenggung Mandaraka menunjukkan kekerasaan batin Pambayun dari sikap Panembahan Senapati sehingga menimbulkan kebimbangan dan pilihan yang berat, sebagai berikut.

“Tak bolehkah sahaya memilih di antara dua? Hanya satu di antara dua? Betapa nenenda aniaya sahaya.” (M, 2002:49)

“Saya suka pada Perdikan ini, sahaya cinta suami sedniri. (Kembali menengadah ke langit). Ya, Kau Sang Pembikin Nyawa, apakah memilih satu di antara dua terlalu banyak, tak diperbolehkan untuk diri yang sebatang ini: Suami seprti dia, takkan kudapatkan di istana pandai menenggang, kata dan lakunya menawan.” (M, 2002:50)

Gambaran kekerasaan fisik dalam drama Mangir, dapat dilihat ketika Panembahan Senapati mengundang Wanabaya dan Pambayun ke kraton Mataram. Namun, sebenarnya Panembahan Senapati mau membunuh dan menghancurkan Wanabaya dan pasukan Perdikan Mangir. Kekuasaan Panembahan Senapati ini terjadi pada tahun (1575- -1601) sampai kira-kira tahun 1577. sebenarnya permusuhan Mataram-Mangir, dimulai jatuhnya kerajaan Majapahit menyebabkan hilangnya kekuasaan. Pada zaman Majapahit kawasan pemukiman yang disebut “perdikan” dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dan mempunyai tugas mengatur pemerintahan sendiri. Sistem ini masih dijalankan pascaManjaphit. “Perdikan” Kadilngu dan Tembayat didirikan di bawah paying Demak dan Pajang hingga zaman pemerintahan Sultan Agung dan penggantinya. Hubungan Mangir dan Mataram sebelumnya baik-baik saja. Ketidakharmonisan timbul karena Panembahan Senapati membutuhkan daya tambahan untuk menopang gaya hidup manja dan mahal pengikut-pengikut kraton. Panembahan Senapati menginginkan Mangir menjadi wilayah Mataram. Namun, Mangir yang memiliki sistem kehidupan mapan tidak mau tunduk pada Mataram. Ki Ageng Wanabaya dengan kepiawaiannya mempertahankan penduduk Mangir dari rong-rongan pasukan Senapati. Terjadilah perang Mangir-Mataram. Mataram-Mangir sama-sama memiliki sistem gaya hidup dengan pasukan yang terlatih dalam seni perang, seperti apa yang dijelaskan dala drama Mangir sebagai berikut.

“Mataram menjanjikan mati, bagi siapa saja pembikin lemah, retak dan pecah.” (M, 2002:98)

“Di bawah takhta hanya ada kepala semua keluarga raja. Salah satu saja goyang, takhta akan salah tegak. Di bawah kepala semua keluarga raja tumpuannya adalah kepala semua nayaka. Tanah berpijak masih jauh. Maka makin dekat ke takhta hari semakin kukuh, maka ragu adalah durjana.” (M, 2002:105)

“Akan kami saksikan dengan mata sendiri, apakah keris di tanganmu sudah layak untuk seorang satria, apakah memang sudah patut kau berada dekat kaki kami.” (M, 2002:106)

“Sahaya inginkan tangan ayahanda sendiri habisi Pambayun ini.” (M, 2002:110)

“Kau setiawan Mataram, bukan di sini tempat meminta mati.” (M, 2002:111)

“Kakang Wanabaya, di sini istrimu mati, di bawah takhta ayahanda Panembahan Senapati.” (M, 2002:111)

“Haram tersentuh oleh kulitmu. Suaramu najis untuk pendengaran kami. (Terkejut, berpaling ke belakang).” (M, 2002:111)

“(Perlahan-lahan menarik keris, kakinya masih sempat menyepak Putri Pambayun yang merangkak mendekati). Ada yang lolos masuk ke isatana. “(M, 2002:111)

“Itu dia Bapak tua bedebah keparat Mataram!” (M, 2002:112)

“Yang mana Panembahan Senapati? Inilah Wanabaya dating sendiri, tanpa tipu tanpa dusta, mari mengadu runcingnya keris.” (M, 2002:112)

“Inilah Panembahan Senapati ing Ngalaga, maju kau bedebah Mangir, jangan ragu.” (M, 2002:112)

“Salah! Itulah Panembahan Senapati (menuding) yang berlindung di balik semua orang.” (M, 2002:112)

“(Melompat, menikam pada lambung Wanabaya).” (M, 2002:112)

“(Keris terlepas dari tangan). Raja dari segala dusta…(Dihujani tombak oleh prajurit-prajurit pengawal dari belakang; rebah).” (M, 2002:113)

Akhirnya, Wanabaya, Baru klinting, Demang Jodog, Patalan, Pandak, dan Pajangan pasukan Perdikan Mangir mati terbunuh oleh pasukan Panembahan Senapati dalam pertemuan keluarga di kerajaan Mataram. Kekerasan yang dilakukan Panembahan Senapati dalam drama Mangir karya Pramoedya Ananata Toer bertujuan untuk menaklukan Wanabaya dan merebut Perdikan Mangir. Dengan demikian, drama Mangir mengetengahkan politik, ideologi, dan kekerasaan yang dilakukan oleh Panembahan Senapati untuk mencapai sita-citanya, yaitu merebut Perdikan Mangir jatuh ke Karajaan Mataram di bawah kekuasaannya.

Penutup

Pramoedya Ananta Toer mampu memberikan pandangan, gambaran, wawasan, dan pelajaran pada pembaca bahwa setiap orang yang ingin meraih kekuasaan selalu menggunkan politik, memaksakan ideologi, dan bertindak keras. Oleh sebab itu, ada keterakitan antara masalah politik, ideologi, dan kekerasaan. Tipu daya, adu domba, licik, memecah belah, menghalalkan segala cara, munafik, penuh dengan ketidakjujuran, dan haus kekuasaan merupakan gambaran atau karakter tokoh Panembahan Senapati yang meninginkan kekuasaan tunggal. Dalam hal ini merupakan pelajaran berharga bagi negara Indonesia untuk membangun negeri ini lebih maju. Politik, ideologi, dan kekerasaan harus dibenahi untuk mendapatkan kekuasaan yang bersih.

Panembahan senapati sebagai penguasa kerajaan Mataram adalah gambaran tokoh yang menggunkan “politik kotor” dan “menghalalkan sagala cara” untuk memperoleh kekuasaan atas Mangir. Panembahan Senapati menjadi penguasa yang sombong, menang sendiri, egois, munafik, licik, serakah, jelas terlihat dalam drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer, memberikan gambaran dan sumbangan positif bagi pemerintahan sekarang ini umtuk memebenahi system politk yang bersih dari kekerasaan dan pemaksaan ideologi.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi djoko. 1978. Sosiologi Sastra sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne IBSCH. Teori Sastra Abad Keduapuluh (Terjemahan J. Praptadiharja dan Kepler Silaban). Jakarta: Gramedia.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Jakarta: Gadjah Mada Unversity Press.

Hardjana, Andre.Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Kurniawan, Eka. 1999. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Akasa Indonesia.

Esten, Mursal. 1984. Kritik sastra Indonesia. Padang: Angkasa Raya.

Selden, Raman. 1989. Panduam membaca Teori Sastra Masa Kini (Diindonesiakan Rachmat Djoko Pradopo). Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press.

Siregar, Ahmad Samin. 2002. Pangsura: Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara. Brunei Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Srengenge, Sitok et all. 2002. Prosa: Revolusi, Manusia, Gado-gado. Jakarta: Metafor.

__________________________. Prosa: Oposisi, Seks, Amerika. Jakarta: Metafor.

Toer, Pramodya Ananta. 2002. Mangir. Jakarta: Gramedia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kakawin Nāgara K.rtagama sebagai Model Penulisan Sastra Sejarah Masa Keemasan Majapahit

Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Kakawin Dēśa Warņnana athawi Nāgara K.rtagama: Masa Keemasan Majapahit merupakan karya sastra sejarah gubahan Mpu Prapanca, pujangga besar di masa kejayaan Kerajaan Majapahit sekitar 700 tahun yang lalu. Kakawin Nāgara K.rtagama hancur bersama runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Namun, kemungkinan ada yang sempat menyelamatkan ke Bali, disalin di Desa Kamalasana dan salinannya disimpan di Gria Pidada, Karangasem, Bali. Selain itu, salinan satunya ada di Puri Cakra Nagara, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat pasukan Belanda menyerbu Lombok tahun 1894 ditemukanlah naskah tersebut dan diberi catatan oleh C.C. Berg menjadi Nāgara K.rtagama. Sesuai dengan etimologi istilahnya, aturan-aturan pembaitan atau metrum kakawin merupakan adaptasi metrum kawya (puisi India). Para kawi ‘penyair’ (Jawa kuno) memiliki sanggit ‘kreativitas’ untuk mengembangkan kakawin sebagai tradisi. Aturan metrum tersebut berupa 1) jumlah suku kata tiap baris yang cenderung sam

Novel Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat: Kelokalan Jawa dalam Narasi Sejarah Versi Kaum Minoritas

Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Dalam sejarah pemikiran dan polemik kebudayaan yang panjang di masa lalu, ternyata telah begitu jauh bersinggungan dengan sisi sensitif nasionalisme dan kejatidirian kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa.Salah satunya terwujud pada sastra yang memperlihatkan bentuk struktural dari situasi historis, yaitu novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, Centhini karya Sunardian Wirodono, dan Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani. Dalam konteks itu, ketiga novel tersebut merupakan novel sejarah yang bersumber dari Babad Tanah Jawi (Roro Mendut), Babad Tanah Jawi dan Babad Demak (Madam Kalinyamat), dan Serat Centhini (Centhini).Konklusi harapan besar dari komitmen sejarah membuka pemahaman bagi pembaca awam sebab budayanya dapat mempertahankan kelestarian ‘seperangkat mitologi’ penuh daya pengaruh yang dapat menyusup ke dalam liku masyarakat Jawa. Unsur-unsur sejarah ditunjukkan dengan memunculkan tokoh-tokoh—yang berdasar sumber lain diakui sebagai pel