Langsung ke konten utama

Agama Tidak Ada Dalam karya Sastra

AGAMA TIDAK ADA DALAM KARYA SASTRA

Sastra, untuk sebagian orang tetap merupakan suatu misteri. Untuk membuat rumusan sastra, sungguh tidak mudah. Sastra yang dipersoalkan tetap manusia. Manusia dalam persoalan dalam dirinya, dengan orang lain, dengan alam lingkungannya, dan dengan Maha Penciptanya. Karya sastra adalah milik seluruh manusia, milik dunia meskipun pengarangnya berasal dari suatu agama, negara, dan ras tertentu. Mahabarata dan Ramayana milik agama Hindu dan berkisah tentang bangsa India. Akan tetapi, karya-karya ini lebih banyak berkisah tentang manusia. Kedua epos tersebut menghadirkan perasaan manusia secara universal, kapan saja dan di mana saja. Karya sastra Persia yang bersifat Islami dibaca dan dikagumi oleh bangsa-bangsa Barat yang Kristen karena karya tersebut berbicara tentang manusia yang telanjang bebas di halangan isme apa pun. Karya sastra yang besar harus mengandung kebenaran dan kejujuran. Seperti ilmu pengetahuan, kesusastraan juga suatu usaha untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran. Kebenaran ini bersifat universal bukan satu golongan tertentu dan agama tertentu.

Pada awal mulanya, segala sastra adalah religius. Keberadaan agama dalam karya-karya sastra digantikan dengan unsur religius yang lebih luas maknanya dan sifatnya berbeda dengan agama. Unsur religius sebagai penghubung yang mendekatkan para penikmat karya sastra dengan agamanya, religius yang ada dalam karya sastra berasal dari agama, tetapi berbeda dengan unsur agama yang terkandung dalam karya sastra.

Agama adalah tata hubungan manusia dengan Tuhan. Selama Tuhan dipercaya sebagai Kholik dan manusia itu sebagai makhluk-Nya, tata hubungan itu tidak akan berubah, betapapun manusia itu mengalami kemajuan, sekalipun kebudayaannya berkembang dahsyat, digerakkan oleh ilmu dan teknologinya yang luar biasa. Tiap agama mengandung doktrin suruhan dan larangan. Yang disuruh itu yang baik, yang dilarang itu yang buruk. Imbangan perbuatan baik itu adalah pahala dan imbangan perbuatan buruk adalah dosa. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Y.B. Mangunwijaya bahwa pada dasarnya agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan, dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan (Gesellschaft, bahasa Jerman).

Sidi Gasalba memaparkan agama mempunyai beberapa ciri sehingga agama bisa disebut agama yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Pertama, kelahiran agama tertentu waktunya. Kedua, agama disampaikan oleh utusan Tuhan. Ketiga, agama memiliki kitab suci yang menjadi himpunan wahyu yang diturunkan oleh Tuhan. Keempat, tata berpikir dan merasa agama tidak inheren dengan kebudayaan masyarakat yang menerima agama tersebut. Kelima, konsep ketuhanan agama tidak disusun oleh aqal melainkan oleh naqal. Keenam, doktrin ajaran agama adalah mutlak karena berasaskan ilmu Tuhan Yang Maha Tahu. Ketujuh, prinsip-prinsip agama bersifat mutlak karena itu berlaku bagi umat manusia secara universal. Kedelapan, nilai-nilai yang diajarkan oleh agama sesuai dengan kemanusiaan. Kesembilan, perkara-perkara gaib idhafi yang diajarkan oleh agama menunggu perkembangan ilmu untuk membuktikan kebenarannya. Kesepuluh, perkara-perkara alam nyata yang diajarkan oleh agama langit satu demi satu dibuktikan kebenarannya oleh perkembangan ilmu. Kesebelas, melalui agama Tuhan memberikan tuntunan, petunjuk, dan peringatan kepada pembentukan Insan Khamil (manusia sempurna, manusia ideal).

Religius yang semula berasal dari bahasa Latin religare atau relagire, berarti mengikat. Religius berarti ikatan atau pengikatan. Yang dimaksud religius adalah bahwa manusia mengikatkan diri kepada Tuhan atau keterikatan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan. Seperti pendapat Y.B. Mangunwijaya bahwa religiositas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri baik orang lain karena menapaskan intimitas jiwa, “ducoeur” dalam arti pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) ke dalam pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiusitas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, dan resmi. Religius lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinchaft) yang cirinya lebih intim.

Pendapat ahli lainnya, Sidi Gazalba mengemukakan religi adalah kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam semesta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat semua itu. Religi adalah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.

Religiusitas dalam karya sastra lebih kepada persoalan individu sastrawan dalam menghasilkan teks-teks sastra yang begitu kental akan nilai-nilai religi dan transendental. Disebut begitu karena religiusitas merupakan kondrat manusia yang paling hakiki. Begitu umat manusia diciptakan-Nya, saat itu juga manusia sudah harus mengabdi kepada Yang Maha Kuasa; menyembah-Nya sebagai wujud dari kesadaran transendental seorang hamba. Bahkan, seorang atheis sekalipun tidak bisa mengabaikan nilai-nilai religius yang ada dalam dirinya.

Oleh sebab itu, perdebatan religiusitas dalam karya sastra lebih baik diarahkan kepada fenomena maraknya karya-karya sastra religius yang ditulis lebih sebagai mode. Sebab karya-karya sastra religi, yang oleh para pengamat sastra diposisikan sebagai karya percerahan rohani, ternyata tidak selalu ditulis sebagai salah satu medium berkomunikasi antara manusia sastrawan dengan Yang Maha Kuasa.

Karya-karya sastra religius itu, yang kental akan "penyerahan habis-habisan seorang hamba kepada Penciptanya", ditulis dalam semangat massa. Artinya, sastrawan bersangkutan hanya bertujuan menghasilkan sebuah karya sastra yang digemari publik, di mana seleksi pertama ada di tangan para redaktur budaya media koran atau majalah. Tidak heran jika ada penyair menulis sebuah puisi religius dalam keadaan mabuk atau sambil meminum alkohol. Karya sastra yang demikian berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapakan aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetik bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic fuction (surface structure), sedangkan estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure. Jakob Sumardjo berpendapat bahwa kesusastraan adalah sebuah kegiatan yang bersifat kecendekiawan. Ia termasuk karya “budaya tinggi” dalam arti lebih hanya takaran intelektualnya daripada sekadar hiburannya. Apa yang dinamai temuan intelektual tidak perlu hanya melulu berobjek kehidupan pengetahuan atau kognitif. Objek intelektual dapat pula berupa kehidupan emosi, intrinsik, religius, dan sebagainya.

Sebenarnya bila mau dilihat lebih jauh maka manusia akan menemukan beberapa hubungan antara agama dan sastra seperti dikatakan Hamdan dalam esai sastranya di Cybersastra sebagai berikut. Pertama, yang paling jelas antara sastra dan agama adalah kenyataan bahwa banyak karya sastra yang merupakan ungkapan penghayatan seseorang terhadap Tuhan. Kedua, penggunaan simbol-simbol berupa kosakata yang sudah umum dipakai dalam kehidupan beragama sebagai tanda-tanda dalam karya sastra. Ketiga, dalam menciptakan karya sastra, banyak pengarang yang tetap menjadikan agama sebagai patokan, sedangkan pengarang yang lain menganggap karya sastra bebas dari pengaruh agama. Perbedaan pendapat ini mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para sastrawan dan ahli sastra. Keempat, pembaca karya sastra menggunakan cakrawala harapannya dalam memahami karya sastra. Pembaca yang berorientasi pada agama, tentunya mengharapkan karya sastra itu tidak menentang agama (dalam arti agama formal) sehingga penentangan agama lewat karya sastra akan mereka tanggapi secara negatif. Kelima, Bagaimanapun, bisa dikatakan bahwa pengarang itu taat beragama atau tidak, karyanya tetap harus mengandung nilai-nilai estetika dan sesuai dengan konvensi sastra. Masyarakat sastralah yang akan memberikan penilaian karena kebesaran karya sastra ditentukan dengan kriteria di luar estetika, misalnya agama. Keenam, ilmu sastra, sebagai sebuah pengetahuan ilmiah, memiliki peran memberikan penjelasan ilmiah mengenai kaitan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya agama. Dengan demikian, siapa saja yang akan memberikan keterangan secara ilmiah mengenai keterkaitan sastra dengan bidang lain, harus pula memahami ilmu sastra.

Orang beragama banyak yang religius, dan seharusnya memang demikianlah, paling tidak diandaikan seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religious juga. Akan tetapi, kenyataannya tidak selalu begitu. Dari dunia sastra dapat dilihat perbedaan ataupun titik-titik singgung antara agama dan religius, yaitu pada buku karangan Y.B. Mangunwijaya mengambil contoh cerita yang dikarang oleh A.A Navis. Pernah Umar Junus di majalah Horison beresensi dengan judul “Navis dalam Dua Muka”, yakni mengenai isi kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (Bukittinggi, 1956) dengan Datang dan Perginya (Bukittinggi, 1967) yang merupakan gabungan dengan kedua cerpen tersebut. Dunia warta yang tersuar dalam ketiga karya ini adalah: (1) ibadat harus disertai pengolahan dunia. A.A. Navis selaku penghayat muslimin, seperwataan dengan sikap kristennya. (2) Tema kedua sangatlah gawat sampai A.A. Navis disebut bermuka dua oleh Umar Yunus. Seorang ayah runtuh hatinya karena istri pertamanya meninggal, ia terjerumus ke lembah hitam (maksiat) dan mengabaikan anaknya. Anaknya bernama Arni dari salah satu sekian banyak istrinya yang diceraikan setelah istri pertamanya meninggal, dan menikah dengan anaknya sendiri Masri, anak dari istri pertamanya. Timbulnya dilema sang ayah (A.A. Navis) yang tertuang dalam Datang dan Perginya, dan memilih alternatif terakhir. Demi perikemanusiaan. Akan tetapi, dalam Kemarau dipilihnya alternatif yang pertama, demi agama. Contoh lain dari karya sastra yang mengangkat religius, antara lain, Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer) mengisahkan seorang lelaki, perintis kemerdekaan yang telah banyak berkorban menjadi orang kecewa karena kejadian-kejadian di zaman Jepang dan revolusi. Dan akhirnya jadi penjudi, lalu mati sendirian, itulah pernyataan dari cerita itu; Cerita Dari Blora mengisahkan tentang laku Islam Sejati. Seorang anak yang ingin menjadi Islam Sejati disuruh melakukan khitan, setelah dijalani ternyata ia merasakan sebaliknya. Birahinya meningkat tajam. Atheis (Achdiat Karta Miharja) mempertanyakan adat (agama formal), tetapi lebih subtil itu terpijar dalam pelukisan batin (religius) pada tokoh utama novel Telegram (Putu Wijaya); Khotbah Di Atas Bukit (Kuntowijoyo), membicarakan soal sekitar Dien Zum Tode; Ziarah (Iwan Simatupang) dalam cerita novelnya tersebut dikisahkan bahwa tokoh-tokohnya mengalami kejadian yang tidak beraturan, mendadak, asing, dan hanya dapat terjawab dalam kuburan. Mengurusi kematian dan menanti mati sendirian. Masih banyak karya lain yang menarik, tidak hanya novel/roman, tetapi juga karya sastra lain (puisi).

Contoh penyair religi sudah ada sejak zaman Balai Pustaka, Amir Hamzah, kiranya, bukan satu-satunya penyair yang mendapat hasil penafsiran religius. Sejalan perkembangan sastra itu pula, sejak zaman Hamzah Fansuri, Balai Pustaka, tahun 1970-an hingga sekarang; diselenggarakan diskusi atau tulisan lepas yang menekankan adanya religiusitas dalam karya sastra. Tokoh seperti ini bisa dinisbatkan kepada Hamzah Fansuri yang mana sajak-sajaknya selalu mengikuti kaidah dan rima akhir. Selain itu, dalam sastra modern yang diwakili oleh Shake Spear lebih menekankan pada makna bahasa ketimbang keindahan struktur kata. Dalam tahun 1980-an, dipelopori Abdul Hadi WM, aliran sastra sufi pun muncul. Sastrawan Abdul Hadi WM mengelola rubrik budaya Berita Buana bisa disebut sebagai priode bangkitnya sastrawan religius. Para penyair berlomba-lomba menulis puisi religius. Sebagain memang betul-betul ingin berdakwah, tapi tidak sedikit yang hanya agar karya-karyanya dipublikasikan di Berita Buana. Sastrawan Indonesia yang bisa dikategorikan kedalam aliran modernisme adalah W.S. Rendra. Dengan demikian, bisa dimaklumi jika dikemudian ada macam dan corak warna sastra yang begitu banyaknya. Tidak ada yang bisa disalahkan karena apa yang mereka perbuat berdasarkan apa yang mempengaruhi mereka, baik terpengaruh dari unsur intrinsik ataupun ekstrinsik. Yang pasti kedua-duanya sangat berpengaruh dalam sebuah karya sastra.

Mengapa tema religi lekat pada perbincangan sastra? Apakah andilnya bagi sastra? Pertanyaan ini begitu sulit diterjemahkan. Akan tetapi, sesuai perkembangannnya ada banyak penyair yang puisinya membuka diri pada pengalaman berseru terhadap Tuhan disebut penyair religius. Puisi religius, sastra religius. Ini adalah klaim massal yang melekat-nyaris abadi- dalam puisi, prosa, dan drama. Misalnya drama Emha Ainun Nadjib berjudul Perahu Retak. Kumpulan prosa Fariduddin Attar dan Kahlil Gibran, bahkan sering, dipajangkan pada deret buku-buku agama. Sesungguhnya yang terjadi adalah pemberian identitas sastra oleh pembaca. Acep Zamzam Noor justru membuat pengakuan yang kontradiktif dengan wilayah sakral religi. Pada puisi Lagu Bulan Mei pengarang memperlakukan teks puisi dengan jelas dan sengaja mempersatukan dua diksi berlawanan -antara sungai di pahamu dengan altar gereja- dalam satu tindak dan satu tujuan. Nampak pula pada puisi Muh. Aris berjudul Barongsai menggambarkan neraka yang rucah, beringas, dan panas justru diperlakukan sebagai pola sintaksis bahasa. Larangan dijadikan permainan. Di sana, ia tidak berkelenjotan kepanasan, tetapi berenang santai sambil memainkan alat tabuh Irian Barat dengan cengkok-cengkok Jawanya. Berbeda halnya dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul Idul Fitri mengisahkan seorang pemabuk yang insaf dan ingin kembali ke jalan Tuhannya. Selain itu, dalam puisinya O Amuk Kapak pada tahun 1970-an. Sastra tanpa betah religi-begitulah "tidak ada sastra religius" meskipun bertentangan dengan institusi religi, itu hanya terjadi pada teks. Di luar teks, keduanya menemukan titik temu. Saling menjalin merumuskan kebudayaan. Sastra dan religi ada dalam masyarakat, dihidupi masyarakat, serta hidup untuk masyarakat. Religi membangun tata krama agar orang mengerti-menjalankan yang benar dan yang baik. Juga memicu situasi daya cipta. Sastra-dengan paradoksalnya- membuat orang mengerti hidup dan yang terjadi pada hidup. Sastra berguna untuk religi sebagai outokritik. Religi berjasa bagi sastra sebagai modalitas kreatif.

Apakah dengan begitu masih ada karya sastra yang religius? Jawabnya ada pada bagaimana pengarang dalam menciptakan karya-karyanya. Bahwa teks sastra bukan saja tidak bernuansa religius, justru yang diusahakan adalah merapuhkan religiusitas. Semacam kodrat, diakibatkan berpijak pada dataran estetika. Ketakjuban/keindahan dari terapan pertentangan, ketegangan, permainan, serta ketidakpastian. Semuanya berada di luar wilayah religi.

Dari contoh karya sastra tersebut sudah jelas menceritakan kenyataan hidup yang menyimpang dari agama. Kalau contoh kehidupan yang seperti itu dilarang agama, sedangkan manusia harus hidup berdasarkan jalan agama. Lalu bagaimana dengan daya cipta, dan daya kreasi pada sastra berarti sastra sudah melanggar agama? Lalu bagaimana nasib sastra yang menceritakan kehidupan manusia selama manusia hidup di dunia, berarti sastra harus mati dan terpaksa harus ditinggalkan? Masihkan bisa dikatakan bahwa religiusitas berkaitan dengan kehidupan agama? Seorang penyair seperti John Keats pun memiliki pandangan bahwa kemampuan untuk mengingkari diri, pandangan-pandangan keagamaan tautannya disingkirkan buat sementara agar dapat dengan pengertian wajar menentukan kembali apa yang sebenarnya diungkapkan dan dimaksudkan oleh pengarang. Dengan demikian, karya sastra sebagai struktur yang kompleks, yang di dalamnya menyoroti berbagai segi kehidupan termasuk masalah keagaman. Kehadiran sastra keagamaan di tengah masyarakat pasti memiliki latar belakang tersendiri berdasarkan apa yang diciptakan pengarang dalam karya-karyanya. Dan mengetahui latar belakang ini adalah hal yang sangat penting karena melihat apakah genre sastra religiusitas itu bersifat sementara ataukah menetap, yaitu memunyai landasan yang kuat dapat bertahan untuk selamanya. Sebelum digali lebih dalam, terlebih dahulu harus diketahui kriteria religius dalam karya sastra.

__________________________

1] aqal berpikir, hati, menahan

2] naqal kutipan berdasarkan Alquran dan hadis

Daftar Rujukan

Atmosuwito, Subijantoro. 1989. Perihal Sastra dan Religiusisitas dalam Sastra. Bandung: Sinar Biru.

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.

Gazalba, Sidi. 1988. Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dan Seni Budaya. Jakarta: Pustaka Alhusna.

Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Jassin, H. B. 1984. Analisa: Sorotan Mentalitas dan Pengembangan. Jakarta: Gramedia.

Mangunwijaya. 1986. Menumbuhkan Sikap Religius Pada Anak. Jakarta: Gramedia.

_____________. 1988. Sastra dan Religius. Yogyakarta: Kanisius.

Simuh. 1998. Sastra dan Budaya Islam Nusantara. Jogjakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Sumardjo, Jakob. 1981. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gambaran Politik, Ideologi, dan Kekerasan Drama Mangir Karya Pramoedya Ananta Toer

Gambaran Politik, Ideologi, dan Kekerasan Drama Mangir Karya Pramoedya Ananata Toer Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan gambaran politik, ideologi, dan kekerasan drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. Drama politik, umumnya memainkan peranan utama dalam karya sastra, karya sastra tanpa politik seakan terasa “mentah.” Dalam bentuk yang ideal, drama politik berisi ketegangan internal, yaitu ketegangan perilaku dan perasaan seorang tokoh, di samping itu harus mengisyaratkan ideologi modern. Ideologi umumnya bersifat abstrak dalam pikiran tokoh. Konflik dan kekerasan dalam drama Mangir mampu memikat pembaca, karena drama itulah politik dan ideologi ditampilkan sekaligus dipertahankan, serta gagasan tentang keterlibatan sastra dan pengarangnya juga merupakan alegori yang ironis, yang dimaksudkan sebagai sindiran terhadap konflik antarpenguasa. The research aims to describe the illustration of politic, ideology, and strife o

Kakawin Nāgara K.rtagama sebagai Model Penulisan Sastra Sejarah Masa Keemasan Majapahit

Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Kakawin Dēśa Warņnana athawi Nāgara K.rtagama: Masa Keemasan Majapahit merupakan karya sastra sejarah gubahan Mpu Prapanca, pujangga besar di masa kejayaan Kerajaan Majapahit sekitar 700 tahun yang lalu. Kakawin Nāgara K.rtagama hancur bersama runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Namun, kemungkinan ada yang sempat menyelamatkan ke Bali, disalin di Desa Kamalasana dan salinannya disimpan di Gria Pidada, Karangasem, Bali. Selain itu, salinan satunya ada di Puri Cakra Nagara, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat pasukan Belanda menyerbu Lombok tahun 1894 ditemukanlah naskah tersebut dan diberi catatan oleh C.C. Berg menjadi Nāgara K.rtagama. Sesuai dengan etimologi istilahnya, aturan-aturan pembaitan atau metrum kakawin merupakan adaptasi metrum kawya (puisi India). Para kawi ‘penyair’ (Jawa kuno) memiliki sanggit ‘kreativitas’ untuk mengembangkan kakawin sebagai tradisi. Aturan metrum tersebut berupa 1) jumlah suku kata tiap baris yang cenderung sam

Novel Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat: Kelokalan Jawa dalam Narasi Sejarah Versi Kaum Minoritas

Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Dalam sejarah pemikiran dan polemik kebudayaan yang panjang di masa lalu, ternyata telah begitu jauh bersinggungan dengan sisi sensitif nasionalisme dan kejatidirian kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa.Salah satunya terwujud pada sastra yang memperlihatkan bentuk struktural dari situasi historis, yaitu novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, Centhini karya Sunardian Wirodono, dan Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani. Dalam konteks itu, ketiga novel tersebut merupakan novel sejarah yang bersumber dari Babad Tanah Jawi (Roro Mendut), Babad Tanah Jawi dan Babad Demak (Madam Kalinyamat), dan Serat Centhini (Centhini).Konklusi harapan besar dari komitmen sejarah membuka pemahaman bagi pembaca awam sebab budayanya dapat mempertahankan kelestarian ‘seperangkat mitologi’ penuh daya pengaruh yang dapat menyusup ke dalam liku masyarakat Jawa. Unsur-unsur sejarah ditunjukkan dengan memunculkan tokoh-tokoh—yang berdasar sumber lain diakui sebagai pel