Langsung ke konten utama

Pengajaran Sastra Di Sekolah

Implementasi Pengajaran Sastra Indonesia di Sekolah:

Upaya Pemahaman Pembelajaran Berbasis Kompetensi

dan Pendekatan Kontekstual

Puji Retno Hardiningtyas, S.S.

Balai Bahasa Denpasar

ruwetno@yahoo.co.id

Abstrak: “Sebagai upaya meningkatkan mutu apresiasi sastra dan gemar membaca, setiap siswa pada jenjang SMU diwajibkan membaca lima belas buku sastra (puisi, cerpen, novel, drama, dan esai) selama tiga tahun”. Demikian tercantum dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), pada Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (2003). Bagi guru, tentu jumlah lima belas judul buku sastra itu hendaknya dipahami sebagai target minimal yang harus dicapai. Munculnya ketentuan ini tentu berkaitan dengan rendahnya mutu apresiasi sastra para lulusan, khususnya jenjang SMA pada kurikulum sebelumnya dan sekarang KTSP.

Melihat keadaan tersebut, tidak mustahil sampai sekarang banyak kalangan mengeluhkan mutu pelajaran sastra—belum mencapai hasil yang memuaskan. Selain itu, pelajaran sastra masih dirasakan sebagai beban oleh siswa. Guru dihadapkan dengan berbagai masalah, misalnya menyelesaikan target kurikulum, administrasi persiapan mengajar, dan model soal ujian.

Guru bahasa dan sastra Indonesia kebanyakan memang taat melaksanakan ketentuan kurikulum. Namun, sayang—hanya sebatas taat, belum melangkah yang kreatif lewat proses belajar. Kebanyakan guru berorientasi kepada target nilai ujian akhir (NEM) daripada melaksanakan tuntutan kurikulum. KTSP merupakan implementasi dari KBK memberikan secerah harapan untuk pengajaran sastra karena dalam kurikulum itu memberi peluang pengajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai dasar pembinaan bahasa dan sastra sejak dini kepada siswa. Guru mempunyai keleluasaan untuk menentukan bahan ajar bahasa dan sastra sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didik. Namun, sejauh mana kebebasan guru mengatur bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia? Perlukah ada pemisahan yang jelas antara pendidikan bahasa dan sastra? Akankah pembelajaran berbasis kompetensi dan pendekatan kontekstual (KBK dan KTSP) dapat meningkatkan mutu apresiasi sastra? Makalah ini mencoba mengulas beberapa hal yang berkaitan dengan realitas sastra Indonesia saat ini, dampaknya terhadap pengajaran, serta implementasinya pada kurikulum. Pembahasan ini diharapkan dapat mengubah citra pembelajaran sastra Indonesia.

Kata Kunci: KBK dan KTSP, sastra dan kurikulum, strategi pengajaran sastra, dan realitas kompetensi guru

1. Pendahuluan

Sampai saat ini persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tersebut telah dan terus dilakukan, mulai dari berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum secara periodik, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, sampai dengan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun, indikator ke arah mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Seperti halnya masuknya mata pelajaran bahasa dan sastra dalam kurikulum dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai moral, etika, budi pekerti, dan nilai kemanusiaan pada siswa didik. Suatu upaya mulia membangun karakter bangsa melalui pendekatan budaya dalam dunia pendidikan. Akan tetapi, ada pertanyaan. Apakah model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia seperti sekarang ini sudah memenuhi tujuan pendidikan? Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang hanya memberikan pengertian pada struktur bahasa dan sastra sekadar menjelajahi hafalan pada judul dan nama pengarang, sungguh jauh dari tujuan pembekalan nilai yang diinginkan dari pelajaran ini. Model pembelajaran yang tanpa memberikan penekanan pada kedudukan dan fungsi bahasa dan sastra secara pragmatis, hanya memberikan manfaat sesaat pada “nilai kelulusan” bukan pada “nilai pendidikan”. Lalu bagaimana dengan kedudukan sastra dalam kurikulum? Pendekatan pembelajaran yang bagaimanakah yang tepat untuk diterapkan? Tentunya model pembelajaran dan peran guru menjadi salah satu tumpuan keberhasilan pendidikan.

Pembelajaran sastra, secara umum akan menjadi sarana pendidikan moral. Kesadaran moral dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai sumber. Selain berdialog dengan orang-orang yang sudah teruji kebijaksanaannya, sumber-sumber tertulis seperti biografi, etika, dan karya sastra dapat menjadi bahan pemikiran dan perenungan tentang moral. Karya sastra yang bernilai tinggi di dalamnya terkandung pesan-pesan moral yang tinggi. Karya ini merekam semangat zaman pada suatu tempat dan waktu tertentu yang disajikan dengan gagasan yang berisi renungan falsafah. Sastra seperti ini dapat menjadi medium untuk menggerakkan dan mengangkat manusia pada harkat yang lebih tinggi. Karya sastra tersebut dapat berupa prosa fiksi, puisi, maupun drama. Melalui pembelajaran sastra, siswa diharapkan menjadi warga yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang luhur.

Upaya sentralnya berporos pada pembaharuan kurikulum pendidikan. Sebagai usaha terencana, pembaharuan kurikulum tentulah didasari oleh alasan yang jelas dan subtantif serta mengarah pada terwujudnya sosok kurikulum yang lebih baik, dalam arti yang seluas-luasnya, bukan sekadar demi perubahan itu sendiri. Ini berarti, pembaharuan kurikulum selayaknya diabdikan pada terwujudnya praktik pembelajaran yang lebih berkualiatas bagi siswa, menuju terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas, baik dalam kaitannya dengan studi lanjut, memasuki dunia kerja, maupun belajar mandiri.

Secara khusus, makalah ini akan membahas pembelajaran sastra di sekolah dan kaitannya dengan strategi guru menghadapi KBK dan KTSP. Alasan yang mendasari penulis membahas pembelajaran sastra di sekolah adalah karena bukan suatu rahasia lagi bahwa sebagian besar guru sastra adalah guru bahasa yang lebih memberikan perhatian kepada permasalahan bahasa, utamanya pada masalah-masalah teknis. Banyak guru sastra yang “tidak menyukai sastra”. Dengan “pengakuan” semacam ini, apa yang dapat diharapkan untuk pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya sastra Indonesia? Oleh karena itu, jika pengajaran sastra berada dalam posisi terpuruk, bukan sesuatu yang perlu diherankan. Namun, permasalahannya tentu bukan hanya pada “keheranan” atau tidaknya kepedulian guru dan siswa dalam memahami sastra, melainkan pada apa upaya atau langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk memperbaiki dan membuat pelajaran sastra menjadi menarik.

2. Pemahaman Pembelajaran Berbasis Kompentensi dan Pendekatan Kontekstual (KBK dan KTSP)

Usaha dan upaya telah dirintis oleh pemerintah adalah penyempurnaan kurikulum KBK menjadi KTSP. Namun, KTSP yang diberlakukan secara bertahap mulai tahun 2006 pun—berdasarkan pemantauan penulis—tidak jauh berbeda nasibnya dengan KBK. Apalagi kurikulum yang dianggap sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya (KBK) ini memberikan keleluasaan kepada guru dan sekolah (lembaga tingkat satuan pendidikan) untuk mengembangkannya. Guru dan sekolah diberikan kebebasan untuk berkreasi dengan patokan pada standar isi, standar kompetensi lulusan, dan panduan penyusunan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah (c.q. Badan Standar Nasional Pendidikan). Sementara itu, sebagaimana dalam KBK, kadar wawasan dan pemahaman guru dan sekolah terhadap KTSP masih sangat beragam, yang tentu akan berdampak pada keragaman penerapannya di lapangan, terutama dalam KBM-nya.

Pembelajaran berbasis kompetensi dan kontekstual, selain untuk menerjemahkan “kemauan” KTSP yang berorientasi pada pembelajaran berbasis kompetensi dan kontekstual juga karena didorong adanya kondisi objektif sebagai berikut. Pertama, hasil pemantauan menunjukkan bahwa sebagian besar guru masih belum paham benar akan pembelajaran yang berbasis kompetensi dan pembelajaran melalui pendekatan kontekstual, baik konsep maupun penerapannya. Kedua, uraian atau penjelasan pada perangkat kurikulum—termasuk standar kompetensi dan kompetansi dasar—masih bersifat umum dan garis besar sehingga dalam penerapannya diperlukan sejenis panduan. Ketiga, latar belakang pendidikan dan pengalaman guru yang beragam sehingga memicu keragaman pemahaman terhadap konsep pembelajaran yang diterimanya, termasuk konsep pembelajaran yang berbasis kompetensi dan pendekatan kontekstual yang disarankan KTSP. Keempat, ada kecenderungan sebagian guru melaksanakan tugas-tugas instruksional sesuai dengan “yang biasa dilakukan”. Mereka tidak sadar bahwa kebiasaan yang mereka lakukan pada dasarnya adalah kekeliruan dan kekurangsempurnaan. Mereka tertutup terhadap perubahan dan pembaharuan. Guru diharapkan sadar bahwa pembaharuan dalam dunia pendidikan perlu dilakukan terus-menerus, terutama dalam pembelajaran, demi efektivitas kecercapaian tujuan (Muslich, 2007:6—8).

Pada dasarnya perbedaan esensial antara KBK dan KTSP tidak ada. Keduanya sama-sama seperangkat rencana pendidikan yang beroreintasi pada kompetensi dan hasil belajar peserta didik. Perbedaannya tampak pada teknis pelaksanaan. Jika KBK disusun oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Depdiknas (c.p. Puskur); KTSP disusun oleh tingkat satuan pendidikan masing-masing, dalam hal ini sekolah yang bersangkutan, walaupun masih tetap mengacu pada rambu-rambu nasional panduan penyusunan KTSP yang disusun oleh badan independen yang disebut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Alwasilah (2006) mengungkapkan sejumlah ciri penting KTSP ini sebagai berikut. (1) KTSP menganut prinsip fleksibilitas; sekolah diberi kebebasan untuk memberi tambahan empat jam per minggu, yang dapat diisi dengan muatan lokal maupun pelajaran wajib; (2) KTSP membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan lama, yaitu ketergantungan pada birokrat; (3) Guru kreatif, dan siswa aktif; (4) KTSP dikembangkan dengan prinsip diversifikasi; sekolah berperan sebagai “makelar” kearifan lokal; (5) Komite sekolah bersama dengan guru mengembangkan kurikulum; (6) KTSP tanggap terhadap iptek da seni, berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungan; dan (7) KTSP beragam dan terpadu; walaupun sekolah diberi otonomi dalam pengembangannya, sekolah tetap mengikuti Ujian Nasional.

Pengembangan Kurikulum 2004 merupakan refleksi, pemikiran, atau pengkajian ulang dan penilaian terhadap Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 1994 beserta pelaksanaannya. Hasil analisis yang mendalam terhadap keadaan dan kebutuhan peserta didik di masa sekarang dan yang akan datang menunjukkan perlunya Kurikulum Berbasis Kompetensi yang dapat membekali peserta didik untuk menghadapi tantangan kehidupan secara mandiri, cerdas, kritis, rasional dan kreatif.

Inklusif pada pemberlakukan Kurikulum 2004 itu, diberlakukan pula kurikulum mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Kurikulum Berbasis Kompetensi mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah salah satu program untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Inklusif pemberlakukan KTSP tidak berbeda dengan KBK. Dengan demikian, fungsi mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai (1) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni, (4) sarana penyebarluasan pemakaian bahasa dan sastra Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan, (5) sarana pengembangan penalaran, dan (6) sarana pemahaman keberagaman budaya Indonesia melalui khasanah kesastraan Indonesia.

Kompetensi dasar dalam KBK adalah sekumpulan kemampuan dasar minimal yang perlu dikuasai siswa setelah menyelesaikan serangkaian pembelajaran sesuai dengan mata pelajaran dan jenjang yang disusun secara teratur dan bermakna (Boediono dan Ella, 1999). “Kompetensi dasar minimal” inilah yang diupayakan guru secara maksimum melalui pembelajaran bagi siswanya.

Mengapa pembelajaran berbasis kompetensi? Puskur, Balitbang, Depdiknas (2002) memberikan rumusan bahwa kompetensi merupakan pengetahauan, keterampilan, dan nilai dasar yang merefleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi ini terdiri atas beberapa aspek, yaitu kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik (Bloom, dkk., 1956).

Pembelajaran berbasis kompetensi menekankan pembelajaran ke arah penciptaan dan peningkatan serangkaian kemampuan dan potensi siswa agar dapat mengantisipasi tantangan aneka kehidupannya. Ini berarti, apabila selama ini orientasi pembelajaran lebih ditekankan pada aspek “pengetahuan” dan target “materi” yang cenderung verbalitis dan kurang memiliki daya terap, saat ini lebih ditekankan pada aspek “kompetensi” dan target “keterampilan”. Melalui pembelajaran berbasisi kompetensi ini, diharapkan mutu lulusan lebih bermakna dalam kehidupannya.

Mengapa perlu pembelajaran kontekstual? Kesadaran perlunya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata. Hal ini karena pemahaman konsep akademik yang mereka peroleh hanyalah merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh kebutuhan praktis kehidupan mereka baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat. Pembelajaran yang selama ini mereka terima hanyalah penonjolan tingkat hafalan dari sekian rentetan topik atau pokok bahasan, tetapi tidak diikuti dengan pemahaman atau pengertian yang mendalam, yang bisa diterapkan ketika mereka berhadapan dengan situasi baru dalam kehidupannya.

Pola pembelajaran dengan KBK didasarkan atas pendekatan kontekstual atau CTL (contextual teaching and learning). Pembelajaran kontekstual dijelaskan dalam KTSP (Depdiknas, 2006) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal, tetapi merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru melalui fakta-fakta atau proposisi yang siswa alami dalam kehidupannya. Pendekatan ini selaras dengan konsep KBK yang sedang diberlakukan saat ini. Kehadiran KBK juga dilandasi oleh pemikiran bahwa berbagai kompetansi akan terbangun secara mantap dan maksimum apabila pembelajaran dilakukan secara kontekstual, yaitu pembelajaran yang didukung situasi dalam kehidupan nyata.

3. Pembelajaran Sastra Indonesia dan Kurikulum

Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan erat dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Untuk memahami dan menghayati karya sastra siswa diharapkan langsung membaca karya sastra bukan membaca ringkasannya (rambu nomor 10 GBPP Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia 1994 Tingkat SMU). Arah pembelajaran sastra sudah jelas adalah apresiasi.

Kini dengan jelas juga tercantum dalam KBK bahwa siswa wajib membaca lima belas buku sastra, tentu menjadi peringatan bagi guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Siswa harus diajak membaca atau menikmati karya sastra secara langsung. Untuk mencapai target minimal lima belas buku ini tentu saja guru akan menjadi model bagi siswa dalam membaca karya sastra. Sudahkah guru mendahului membaca karya sastra? Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh guru dengan tindakan nyata, bukan kata-kata. Jika guru hanya menyuruh siswa membaca buku karya sastra, sedangkan guru tidak membacanya, pastilah mutu pelajaran sastra tidak akan meningkat. Untuk mengubah kebiasaan malas membaca menjadi rajin membaca diperlukan tekad dan motivasi yang tinggi. Mencari alasan untuk tidak membaca, misalnya masalah uang untuk membeli buku, tidak sempat, bukanlah hal yang bijaksana.

Dalam kurikulum berbasis kompetensi, pengajaran sastra yang terhimpun dalam pelajaran bahasa Indonesia, akan menekankan pada materi membaca dan mengarang. Setiap siswa wajib membaca buku sastra sejenis novel, roman, cerpen, dan karya puisi lainnya, bukan membaca sinopsisinya, seperti yang banyak dilakukan oleh siswa sekarang. Siswa tingkat SD selama enam tahun harus membaca enam buku sastra, siswa SLTP (kini SMP) harus membaca buku sastra sembilan buah selama tiga tahun, dan SMU (kini SMA) wajib membaca lima belas buku sastra selama tiga tahun. Kewajiban siswa itu harus dievaluasi oleh gurunya dengan memberikan tugas-tugas yang terkait dengan sastra.

Demikian juga pelajaran mengarang (menulis) akan diberikan perhatian khusus. Untuk tingkat SD, diberikan 24 jam pelajaran dalam satu tahun, SLTP 44 jam setahun, dan SMU 88 jam satu tahun. Pelajaran menulis lebih memprihatinkan lagi dibandingkan dengan minat membaca. Minat membaca memiliki hubungan kualitas dengan keterampilan menulis. Seorang yang mampu menulis, pada dasarnya memiliki bekal berbagai jenis bacaan. Harapan untuk siswa agar mampu menulis sebagai ciri insan terdidik memang masih jauh sebab kegiatan membaca sebagai siswa pondasinya sangat rapuh. Maka dari itu, pengajaran sastra dengan mewajibkan siswa membaca buku sastra, akan berimbas pada kegiatan membaca secara luas.

Dalam konteks itu, kurikulum yang bagaimanakah yang diinginkan agar kompetensi komunikatif bahasa dan sastra Indonesia, khususnya sastra Indonesia dapat dikuasai oleh siswa-siswa dengan maksimal? Pengajaran sastra Indonesia diarahkan sebagai sarana pengembangan kemampuan berapresiasi yang menjadikan siswa mandiri sepanjang hayat, kreatif, dan mampu memecahkan masalah dengan cara menggunakan kemampuan bersastra Indonesianya.

Pembelajaran sastra diharapkan seimbang penerimaannya antara guru dan siswa dalam memahaminya. Sekarang ini terjadi pergeseran keaktifan dari yang semula lebih “dikuasai” oleh para guru dan pada gilirannya kini “dibebankan” kepada para siswa, tidak terlepas dari kebijakan, ancangan, maupun arah kurikulum yang dalam jangka waktu tertentu mengalami perubahan, diversifikasi, maupun modifikasi seiring dengan berbagai kemajuan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya, penyempurnaan atau pembaruan kurikulum dilakukan dalam rangka mengantisipasi berbagai perubahan dan tuntutan masa depan yang niscaya akan dihadapi oleh para siswa sehingga mereka akan mampu berpikir global dan bertingkah laku sesuai dengan karakteristik maupun potensi tempatan atau lokal.

Para guru bahasa Indonesia yang juga notabene guru sastra sudah cukup lama merasakan lemahnya sistem evaluasi pengajaran sastra. Untuk menumbuhkembangkan sastra yang merupakan khazanah kebudayaan itu di sekolah menemui banyak hambatan. Tahun 1950 kurikulum di Indonesia mulai dicanangkan sampai sekarang kurikulum sudah berganti beberapa kali. Perubahan kurikulum merupakan hal yang wajar sebagai bentuk aktualisasi maupun responsi dari perkembangan yang terjadi di dalam kehidupan.

Guru kadangkala mengalami kesulitan untuk menerapakan pola kurikulum yang baru, sedangkan kurikulum yang lama kadang belum sepenuhnya dikuasai. Namun, melihat pembelajaran (bahasa dan) sastra Indonesia dalam kurikulum, dapat ditinjau sebagai berikut. Tahun 1950 kurikulum telah mengalami perubahan pada tahun 1958, 1964, 1968, 1975/1976, dan 1984 untuk SMA. Tahun 1987 perubahan terjadi pada kurikulum untuk SMP. Sejak awal, bidang studi sastra Indonesia terintegrasi dalam bidang studi bahasa Indonesia, sampai kurikulum 1975/1976. Baru pada kurikulum 1984 khususnya untuk SMA, nama bidang studi bahasa Indonesia berubah menjadi bahasa dan sastra Indonesia dalam program inti, serta sastra Indonesia dikhususkan untuk program pilihan Pengetahuan Budaya atau sekarang dikenal dengan program kelas Bahasa. Namun, dalam kenyataannya pembelajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya/bahasa. Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pembelajaran bahasa Indonesia dan alokasi waktunya hanya 2--3 jam per minggu.

Kenyataan yang cukup memprihatinkan mengenai pembelajaran sastra di sekolah, bukan karena alokasi waktu yang disediakan hanya seperenam dari seluruh materi mata pelajaran bahasa Indonesia, melainkan karena strategi pembelajarannya yang “mengkhianati jati diri” sastra itu sendiri. Artinya, guru hanya memberikan materi menghafal nama-nama sastrawan, menghafal peristiwa yang berhubungan dengan kegiatan sastra atau peristiwa sastra, hampir dalam praktiknya guru tidak memahami bahwa sastra itu berbeda dengan bidang ilmu lainnya sehingga pembelajaran sastra dianggap sebagai angin lalu.

Hal yang sangat penting dalam implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi MPBSI adalah konsistensi semua pihak dalam melaksanakan kurikulum tersebut. Konsistensi itu terutama dalam melaksanakan pembelajaran dan evaluasi. KBK MPBSI yang telah tersusun dengan baik tidak akan tercapai secara optimal apabila para pelaksananya tidak konsisten dalam penerapannya di sekolah. Contoh yang paling jelas, bila kurikulum menekankan keterampilan berbahasa (membaca, menulis, mendengarkan dan menyimak) dan berpikir sekaligus maka itulah yang diujikan kepada siswa. Untuk pembelajaran sastra, jika hanya memberikan kemampuan bersastra meliputi sub aspek sebagai berikut. (1) Mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. (2) Berbicara, membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. (3) Membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. (4) Menulis, mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, dan drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca. Tentu materi tersebut belum dapat dikuasai dan diterima oleh siswa dengan tepat.

4. Strategi Pembelajaran Sastra Indonesia

Alwasilah (2006) mengemukakan bahwa pentingnya memasukkan pembelajaran sastra di sekolah karena ada berbagai alasan, yaitu karya sastra menjembatani hubungan realita dan fiksi, hal ini mendukung kecenderungan manusia yang menyukai realita dan fiksi. Melalui karya sastra, pembaca belajar dari pengalaman orang lain dalam menghadapi masalah dalam kehidupan. Di dalam sastra terdapat nilai-nilai kehidupan yang tidak diberikan secara preskriptif — harus begini, jangan begitu —, tetapi dengan membebaskan pembaca mengambil manfaatnya dari sudut pandang pembaca itu sendiri melalui interpretasi. Melalui karya sastra pula peserta didik ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa, eksplorasi sastra, dan perkembangan pengalaman personal. Keakraban dengan karya sastra, dapat memperkaya perbendaharaan kata dan penguasaan ragam-ragam bahasa, yang mendukung kemampuan memaknai sesuatu secara kritis dan kemampuan memproduksi narasi.

Tujuan pengajaran sastra pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, sebagaimana tertera dalam kurikulum yang selama ini berlaku, tidak mungkin tercapai karena sampai saat ini pengajaran sastra merupakan bagian sangat kecil dari pengajaran bahasa. Di samping itu, ketersediaan guru dengan kelayakan yang memadai pun sangat terbatas. Oleh karena itu, metode pengajarannya sering kurang tepat, sementara pemanfaatan bahan ajar yang tersedia belum dapat dilakukan dengan baik. Berdasarkan hal tersebut, pengajaran sastra hendaknya 1) tidak lagi merupakan bagian dari pengajaran bahasa; 2) didukung dengan pengadaan guru yang berkelayakan mengajarkan sastra; 3) didukung ketersediaan karya sastra yang memadai di sekolah; 4) diupayakan agar sastrawan atau tokoh kritik sastra, baik lokal maupun nasional, lebih banyak dimanfaatkan, antara lain, melalui kegiatan tatap muka dengan guru sastra dan siswa; dan 5) didukung dengan kegiatan ekstrakurikuler.

Di dalam KTSP dengan jelas diungkapkan bahwa salah satu tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah agar peserta didik secara kreatif menggunakan bahasa untuk berbagai tujuan. Kreativitas berbahasa dapat dipakai pula untuk mengekspresikan diri. Dalam hal ini, peserta didik bersinggungan dengan sastra.

Sudah seharusnya guru memperkenalkan karya sastra sebagai suatu bentuk seni (yang erat kaitannya dengan kreativitas) berbahasa. Pengajaran sastra ditekankan pada bagaimana mengapresiasikan karya, bukan pada menghafal karya sastra. Dorongan guru kepada peserta didik untuk bercerita, sebaiknya juga dikaitkan dengan pembelajaran sastra. Peserta didik perlu diperkenalkan pada fungsi sastra sebagai alat mengekspresikan diri, baik dalam bentuk cerita, puisi, dan drama (yang mula-mula diperkenalkan sebagai bermain pura-pura).

Untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastra Indonesia, penerbitan karya sastra perlu digalakkan, antara lain lewat edisi karya sastra yang disederhanakan untuk siswa pendidikan dasar. Selain itu, berbagai cara dapat ditempuh, misalnya memperkenalkan sastrawan terkemuka, antara lain melalui penggunaan gambar sastrawan besar pada uang, perangko, kalender, buku ajar, dan buku tulis. Langkah selanjutnya, guru dapat mengikutsertakan siswa pada pertemuan/seminar sastra, mengikutsertakan lomba baca puisi, lomba menulis puisi, cerpen, dan drama, lomba teater tingkat sekolah yang sekarang ini banyak sanggar/lembaga pendidikan melaksanakan lomba sastra.

Langkah baru telah diupayakan untuk menyiasati pengajaran sastra. Pendidikan sastra di sekolah mulai mendapat perhatian dari Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan majalah sastra Horison dan para sastrawan, baik di pusat maupun di daerah. Redaktur senior majalah Horison, Taufiq Ismail beserta para sastrawan lainnya, tidak saja mendatangi siswa ke sekolah-sekolah, tetapi juga memanggil para guru untuk diberikan pelatihan apresiasi sastra. Kegiatan yang melibatkan guru itu, dinilai cukup efektif karena para guru akan menularkan pengetahuannya kepada anak didiknya di sekolah.

Terbukti, majalah Horison masih setia menjadi koleksi perpustakaan di sekolah-sekolah. Selain itu, langkah yang ditempuh Taufiq Ismail adalah melaksanakan kegiatan yang melibatkan siswa dan guru. Kegiatan sastra itu, antara lain (1) majalah Horison yang di dalamnya ada sisipan Kakilangit sebagai wahana apresiasi sastra yang terfokus maupun sarana penampung tulisan kreatif dan opini para siswa dan guru (November 1996), (2) pelatihan Membaca, Menulis, dan Apreasiasi Sastra (MMAS) (Februari 1999) yang ditujukan untuk menyadarkan maupun meningkatkan pemahaman para guru akan hakikat maupun dinamika sastra, (3) kegiatan Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) dilaksanakan tahun 2000 yang disponsori oleh The Ford Foundation melaksanakan kegiatan keliling Indonesia, yaitu interaktif antara sastrawan dengan siswa dari sejumlah sekolah-sekolah, (4) kegiatan Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca (SBMM) dilaksanakan tahun 2000 dimaksudkan sebagai tempat berdialog atau berdiskusi antara mahasiswa yang sebagian telah membaca karya-karya seorang sastrawan atau lebih dengan para sastrawan itu, (5) kegiatan sayembara Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) dan Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) untuk para guru yang dimaksudkan sebagai sarana meningkatkan kemampuan mengapresiasi dan menulis ulasan maupun fiksi. Selain itu, juga dibentuk Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) yang merupakan bengkel kerja bagi upaya meningkatkan kebiasaan membaca, menulis, dan mengapresiasi sastra dengan bimbingan para alumni kegiatan MMAS. Kegiatan tersebut dapat diikuti oleh siswa dan guru, dengan begitu pemahaman sastra dapat digali tidak hanya di sekolah saja.

Lembaga lain yang berusaha mengubah paradigma pembelajaran sastra adalah Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI) dan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) yang setiap tahun mengadakan kegiatan pelatihan, penataran, lokakarya, seminar, atau konferensi yang berhubungan dengan masalah bahasa dan sastra. Dari beberapa lembaga yang dicontohkan di atas setidaknya dapat memberikan pandangan dan sumbangan yang positif bagi suatu perkembangan kehidupan sastra maupun pengajaran dan pembelajaran sastra di Indonesia.

Harapan terbesar adalah timbulnya kesadaran akan peran sentral guru dalam kurikulum, pemberdayaan aspek kreatif dalam pembelajaran sastra, pemahaman yang berwawasan luas akan materi kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat, kesediaan diri para guru untuk juga mereformasi sikap dan meluaskan bacaan karya sastra yag harus dikuasai, serta terus-menerus memperbarui variasi metode pengajarannya, niscaya pembelajaran sastra akan mengarah dan menuju kepada suatu wilayah yang diharapkan dan membahagiakan, bermanfaat untuk orang banyak baik siswa maupun guru, dan mampu meninggikan martabat guru itu sendiri maupun khazanah sastra Indonesia sendiri.

5. Realitas Kompetensi Guru Sastra Indonesia

Guru bahasa dan sastra Indonesia dihadapkan dengan berbagai masalah, misalnya menyelesaikan target kurikulum, administrasi persiapan mengajar, dan model soal ujian. Permasalahan ini akan berpengaruh besar terhadap keberhasilan pembelajaran sastra Indonesia. Banyak guru bahasa dan sastra beranggapan bahwa tercapainya target kurikulum dan materi ujian akhir sudah cukup, apalagi nilai ujian siswa tinggi walaupun dengan mengambil jalan pintas.

Ketegasan mengenai kompetensi apa yang perlu dikembangkan dan bagaimana mendefinisikan kompetensi inilah yang menandai perbedaan kurikulum ini dengan kurikulum sebelumnya. Bukan hanya kurikulum yang harus dipersoalkan, tetapi perihal kompetensi guru di Indonesia juga perlu ditinjau SDM-nya. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 menyatakan bahwa guru SD negeri yang tidak memenuhi kriteria layak untuk mengajar sesuai dengan bidang keilmuannya berjumlah 558.675 orang atau sebesar 45,2% (pada SD swasta sebanyak 50.542 orang atau setara dengan 4,1%) dari total jumlah guru SD sebanyak 1.234.927 orang. Di tingkat SMP terdapat 108.811 guru negeri dan 58.832 guru swasta dari total guru sebanyak 466.748 orang (35,9%) yang dinilai tidak layak mengajar. Sementara untuk tingkat SMA terdapat 35.424 guru negeri dan 40.260 guru swasta dari jumlah keseluruhan 230.114 orang (32.8%) dinyatakan tidak layak mengajar. Sedangkan di tingkat SMK, dari jumlah keseluruhan guru yang berjumlah 147.559 orang, yang dianggap tidak layak mengajar berjumlah 20.678 orang (guru negeri) dan 43.283 orang (guru swasta) atau sama dengan 43,3%. Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru sangat memprihatinkan karena tampaknya banyak guru yang “asal menjadi guru” tanpa suatu tolok ukur kompetensi tertentu atau barangkali juga memang banyak guru yang “tersesat” dan salah dalam memahami bidang keilmuan. Dengan demikian, profesionalisme guru pun diragukan.

Lantas bagaimana dengan para guru yang mengajar bidang sastra di sekolah dasar maupun menengah? Data Balitbang Depdiknas (2001) bahwa dari kompetensi guru yang tidak sesuai bidangnya tersebut bukanlah rekayasa belaka. Dengan pengertian lain, penulis menyimpulkan bahwa banyak guru sastra yang sesungguhnya bukan pembaca sastra atau lebih-lebih pencinta sastra. Kalaupun guru pernah membaca karya sastra, karya-karya tersebut adalah karya-karya yang mereka peroleh atau pelajari sewaktu kuliah dan tidak sedikit pula yang hanya membaca ringkasan karya-karya sastra itu. Jika dugaan itu benar, dapat dibayangkan perihal miskinnya materi maupun kreativitas dari para guru dalam pelaksanaan pengajaran sastra Indonesia.

Kendala ini tidak saja dirasakan oleh guru yang mengelola langsung proses belajar mengajar di ruang kelas, tetapi juga oleh para sastrawan. Permasalahan yang dirasakan guru sekarang ini, akibat salah arah pendidikan sastra di tahun 1950-an. Waktu itu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang kemudian berubah menjadi FKIP dan IKIP mencetak guru untuk mengajarkan bahasa saja. Sastra hanya “dititipkan” untuk diajarkan. FKIP dan IKIP negeri maupun swasta yang membuka jurusan bahasa dan sastra Indonesia, tidak khusus mencetak guru sastra. Dengan demikian, mahasiswa yang kelak menjadi guru, tidak dapat disalahkan apabila mereka canggung bahkan kurang suka atau terpaksa saja mengajarkan sastra.

Dalam kelas KBK dan KTSP, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Filsafat belajar yang mendasari pemikiran itu adalah konstruktivisme. Begitulah peran guru di kelas yang berbasis konstruktivisme.

Hal semacam ini sebenarnya tidak menjadi masalah sekiranya para guru itu juga mempunyai perhatian yang sama besarnya, tetapi kenyataan cenderung mampu membuktikan bahwa umumnya para guru itu sekadar menyambi saja tugas sebagai pengajar sastra. Walaupun demikian, jika diamati secara saksama, realitas yang semacam ini bukan sepenuhnya kesalahan para guru, melainkan kesalahan paradigma pengajaran maupun pembelajaran bahasa dan sastra yang pernah diterima oleh para guru itu ketika mereka masih dalam pendidikan.

Sebaiknya, pengajaran sastra Indonesia dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya. Misalnya, membaca puisi, membaca cerpen, membaca drama, menulis puisi, menulis cerpen, menulis novel dan drama, mengapresiasikan puisi, mengapresiasikan cerpen, mengapresiasikan novel, mendengarkan pembacaan puisi yang dilagukan, memerankan tokoh cerita dan sejenisnya. Dengan demikian, MPBI akan menjadi pelajaran yang menarik dan ‘berguna’. Jika tata bahasa harus diajarkan, sebenarnya hanya untuk menunjang kemampuan-kemampuan tersebut. Guru disarankan agar kembali berpegang pada sasaran tujuan pengajaran sastra Indonesia, yaitu melatih siswa mengapresiasikan karya sastra Indonesia dalam situasi berbahasa nyata. Materi-materi yang tingkat kebergunaannya rendah, seperti menghapal nama-nama pengarang dan jenis karya sastra sebaiknya dikurangi.

Dalam kelas mendatang, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara membacakan puisi. Jika kebetulan ada siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi, siswa itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya. Siswa ‘contoh’ tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai ‘standar’ kompetensi yang harus dicapainya. Model juga dapat didatangkan dari luar. Seorang penulis novel sekali waktu dapat dihadirkan di kelas untuk menjadi ‘model’ bagaimana cara menulis yang baik.

Pada tahap awal, tugas guru sebelum mengimplementasikan kurikulum baru (KBK dan KTSP) adalah (1) mengkaji konsep dan kompetensi dasar yang akan dipelajari oleh siswa, (2) memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara saksama, (3) mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengaitkannya dengan konsep dan kompetensi yang akan dibahas dalam proses pembelajaran kontekstual, (4) merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan mereka, (5) melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, siswa didorong untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya, dan (6) melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil penilaian tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap rancangan pembelajaran dan pelaksanaannya.

Kesimpulannya, guru yang dibutuhkan adalah guru yang informed, yaitu guru yang memiliki kesadaran yang cukup untuk mengimplementasikan kurikulum bahasa dan sastra Indonesia. Kompetensi itulah kata kunci dalam proses belajar mengajar di sekolah. Penguasaan kompetensi menjadi target guru dalam mengajar, bukan menuntaskan materi. Dalam kelas KBK, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya, yaitu memiliki kompetensi. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’.

Strategi-strategi lain yang dapat diterapkan oleh pengelola pendidikan sebagai langkah pelaksanaan KTSP ini sebagai berikut. Pertama, guru dapat memberi kesempatan peserta didik untuk memilih bacaan yang disukainya. Mungkin, pada mulanya bacaan itu bukanlah bacaan yang dinilai baik oleh guru. Namun, dengan memberi kebebasan peserta didik untuk memilih dan menikmati bacaan pilihannya, guru dapat memperkenalkan peran bacaan sebagai sarana untuk memperkaya pengetahuan. Setelah itu, guru dapat meminta peserta didik untuk memilih bacaan yang temanya sudah ditentukan oleh guru. Kedua, peserta didik perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk membaca secara individual. Misalnya, jika peserta didik datang lebih awal, mereka boleh membaca bacaan yang mereka pilih. Keleluasaan menentukan bahan ajar, seperti tertuang dalam KTSP, sebaiknya juga mempertimbangkan keleluasaan waktu untuk membaca dan mendiskusikan apa yang telah dibaca. Ketiga, suasana menyenangkan perlu dibangun di sekolah. Suasana dapat dibedakan menjadi suasana fisik dan suasana sosial. Suasana fisik berkaitan dengan penempatan buku yang rapi dan menarik. Suasana sosial dapat dibangun di kelas dengan menciptakan iklim persaingan sehat dalam membaca buku. Misalnya saja, siswa-siswa diminta untuk membaca buku yang berhubungan dengan sastra sebanyak-banyak dalam waktu tertentu, dan siapa yang paling banyak membaca akan mendapatkan hadiah. Keempat, tidak dapat dimungkiri bahwa peserta didik berasal dari latar belakang yang beragam. Ada keluarga yang membiasakan siswa untuk membaca, ada yang tidak. Guru dapat menunjukkan antusiasmenya dalam kesempatan membaca. Antusiasme guru ini dapat menjadi contoh yang baik bagi peserta didik. Guru juga dapat lebih dahulu membicarakan buku favoritnya, dan menunjukkan bagaimana waktu membaca adalah waktu yang sangat menyenangkan. Kelima, melalui karya sastra, siswa juga dapat berbagi pengalaman dan perasaan. Menceritakan pengalaman yang hampir mirip atau sama sekali berbeda berdasarkan buku yang dibaca merupakan kegiatan yang seharusnya menambah minat peserta didik dalam belajar berbahasa. Selain itu, mendorong siswa untuk menciptakan puisi sebagai bentuk ekspresi pengalaman dan perasaan juga penting. Namun, perlu diingat bahwa setiap siswa mempunyai minat yang berbeda mengenai hal ini. Memaksa siswa untuk menciptakan suatu bentuk ekspresi bahasa bukanlah tindakan yang bijaksana. Keenam, untuk mengemas pembelajaran agar lebih menarik dan tidak membosankan, apalagi kemudian menjemukan, guru dapat memanfaatkan sarana teknologi yang ada, misalnya memanfaatkan VCD atau vidio berisi berbagai program bahasa, sastra, dan budaya daerah, seperti wayang, berbagai upacara tradisional, lagu-lagu daerah (tembang, campur sari, karawitan), pemanfaatan program komputer, dan pemanfaatan internet. Ketujuh, kegiatan ekstrakurikuler untuk mendukung kegiatan kurikuler khususnya sastra juga perlu digalakkan, misalnya majalah dinding yang memuat karya siswa, sanggar sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama), teater sekolah, dan berbagai lomba sastra. Kegiatan sastra dalam waktu khusus juga perlu digalakkan, misalnya kegiatan sehari mengunjungi perpustakaan dan pengarang/sastrawan di daerah terdekat atau mendatangkan salah satu sastrawan ke sekolah-sekolah. Kedelapan, guru dan kepala sekolah dapat menerapkan analisis SWOT dalam mengantisipasi gagalnya pengajaran sastra di sekolah. Selain mendorong kompetensi siswa, guru dapat mengevaluasi hasil pembelajaran sastra dengan pembuatan analisis SWOT, yaitu strength (kekuatan) yang dimiliki sekolah, misalnya laboratorium bahasa, sanggar sastra, buku-buku sastra; weakness (kelemahan), misalnya kompetensi guru yang kurang/SDM guru kurang, dukungan sarana dan prasarana yang kurang, kurangnya minat baca buku sastra, buku-buku sastra tidak memenuhi; oportunity (peluang), misalnya guru diskusi dengan sastrawan lokal, memanfaatkan bahan ajar dari berbagai sumber (surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dsb.) yang memuat sastra, memanfaatkan sarana yang ada, mengikutsertakan siswa dalam kegiatan lomba sastra; treath (ancaman), misalnya standar nilai UN yang tinggi, perubahan kurikulum, dan sistem evaluasi pengajaran sastra (dan bahasa) yang cenderung ke aspek kognitif/pengetahuan . Dengan demikian, kualitas manajemen pengajaran sastra dapat diatasi dan para guru mampu meningkatkan kualitas kompetensinya. Selain itu, untuk melangkah maju, para guru harus selalu mendokumentasikan capaiannya agar tidak terjadi duplikasi sehingga para guru dapat terus mengevaluasi diri (memetik pelajaran dari pengalaman proses pembelajaran sebelumnya), yaitu mampu mengukur hard competency dan soft competency yang ada dalam diri setiap siswa, khususnya pembelajaran sastra Indonesia.

6. Simpulan

Tujuan pembelajaran sastra di sekolah sering kali mendapat sorotan bahwa pembelajaran tersebut telah gagal. Siswa baik di tingkat SMP mapun di SMA kurang berminat terhadap sastra. Minat baca sastra sangat rendah, kurikulum sastra kurang mendukung, serta guru bahasa dan sastra Indonesia mengesampingkan pembelajaran sastra. Pembelajaran yang bersifat apresiatif semakin jauh dari harapan.

Melihat berbagai penyebab lemahnya pengajaran sastra tersebut, ternyata peranan guru sering dipojokkan. Lemahnya dan gagalnya pembelajaran sastra di sekolah, bukan baru pertama kali muncul. Usulan untuk memisahkan pembelajaran bahasa dan sastra mendapat perhatian dari para sastrawan dan pemerhati pendidikan. Namun, usulan, imbauan, bahkan desakan kepada Departemen Pendidikan Nasional untuk meninjau kurikulum bahasa dan sastra Indonesia tidak mudah direalisasikan. Akan tetapi, kurikulum KBK dan KTSP memberikan peluang untuk pembelajaran sastra. Materi-materi sastra, seperti puisi, cerpen, novel, drama, dan jenis fiksi yang lainnya secara jelas telah masuk ke dalam materi kebahasaan, seperi wacana, menulis, kosakata, struktur, dan pragmatik. Tidak benar bahwa sastra merupakan bagian terkecil dari penagajaran bahasa Indonesia. Kritikan dari berbagai kalangan agar dijadikan peluang dan harapan untuk menjadikan pembelajaran sastra Indonesia lebih baik dari sebelumnya.

Seorang guru harus arif menyikapi kurikulum dan menjabarkannya di kelas. Kurikulum yang merupakan rambu-rambu pengajaran harus dikaji ulang karena tidak mungkin dijumpai kurikulum yang sempurna. Perancang kurikulum sungguh menyadari hal tersebut sehingga peranan guru sangat menentukan keberhasilan pengajaran sastra.

Strategi pembelajaran dengan mengombinasikan pengajaran sastra menciptakan suasana kelas yang hidup dan bergairah sebab sastra mengandung unsur hiburan. Cakupan materi sastra dapat disampaikan lebih luas sehingga kesan selama ini bahwa pengajaran sastra “dianaktirikan” tidak benar. Guru bahasa Indonesia yang berminat terhadap sastra, tidak akan mengalami kesulitan dalam pembelajaran sastra. Namun, sayangnya, dari ratusan orang guru bahasa dan sastra Indonesia hanya sedikit yang menaruh perhatian terhadap sastra. Akhirnya, semua itu kembali bergantung pada guru untuk bersedia membuka diri, meluaskan wawasan, serta memperkaya bacaan sastranya agar hakikat yang tersirat dalam kurikulum yang terakhir ini (KTSP) dapat dioperasionalkan secara maksimal.

Daftar Rujukan

Alwasilah, A. Chaedar. 2001. ”Meluruskan Pengajaran Sastra”. Media Indonesia. Sabtu,30 Juni 2001.

______________. 2006. “Kurikulum Bahasa Berbasis Sastra.” Makalah untuk Seminar Nasional Kondisi Bahasa Indonesia Masa Kini, Akademi Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2003. Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Depdiknas.

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Balitbang, Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Balitbang Depdiknas.

Boediono dan Yulaelawati. 1999. “Penyusunan Kurikulum Berbasis Kemampuan Dasar: Dasar Pemikiran”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun ke-5, Nomor 019. Jakarta: Balitbang, Depdikbud.

Departemen Pendidikan Nasional RI. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP): Bahan Sosialaisasi. htpp//:www.depdiknas.id.org.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia Sekolah menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang.

Hamid, Fuad Abdul. 1987. Prosedur Belajar-Mengajar Bahasa. Jakarta: Depdikbud, Dikti PPLPTK.

Huda, Nuril. 1999. Menuju Pengajaran Bahasa Berbasis Strategi Belajar: Implikasi Kajian Strategi Belajar Bahasa Kedua. Makalah disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pemerolehan Bahasa Kedua pada FPBS IKIP Malang, di Malang, 12 Mei 1999.

Kasihani, K., Latief, A., Nurhadi. 2002. Pembelajaran Berbasis CTL (Contexstual Teaching and Learning). Makalah disampaikan pada Kegiatan Sosialisasi CTL untuk Dosen-Dosen UM. Malang, 12 Februari 2002.

Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosda Karya.

Muslich, Masnur. 2007. KTSP: Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.

Nurhadi. 1995. Tata Bahasa Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Nurhadi. 2004. Pendekatan Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Semi, Atar. 1989. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

Suaka, I Nyoman. 2004. Dinamika Kesusastraan Indonesia. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.

Sudaryanto. 1993. Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa Indonesia SD Kurikulum 1994. Makalah disajikan dalam seminar Nasional Pengajaran Bahasa Indonesia III, di Jember, 2--4 Desember 1993.

Suyono, 2004. Konteks, Landasan Akademik, dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Makalah disampaikan dalam Semimar Kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM, tanggal 14 Oktober 2004.

Syafi'ie, Imam. 1992. Problematik Pengajaran BI di Sekolah Menengah (Mengantisipasi Hadirnya Kurikulum 1994). Termuat dalam jurnal Bahasa dan Seni. Nomor 50, Th. XX, Februari 1992.

Tribana, I Gusti Ketut. 2004. Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia: Upaya Pembentukan Perilaku Remaja. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.


Komentar

Anonim mengatakan…
Benar..memang problem utamanya adalah pada minat
apapun caranya, kalo minat belum diperbaiki.. selamanya pengajaran sastra di sekolah.. ya hanya seperti begitu-begitu saja.... masih ingat dulu... hanya beberapa gelintir mahasiswa yang minat pada sastra, setelah lepas kuliah... cenderung menurun(IMHO)

Postingan populer dari blog ini

Gambaran Politik, Ideologi, dan Kekerasan Drama Mangir Karya Pramoedya Ananta Toer

Gambaran Politik, Ideologi, dan Kekerasan Drama Mangir Karya Pramoedya Ananata Toer Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan gambaran politik, ideologi, dan kekerasan drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. Drama politik, umumnya memainkan peranan utama dalam karya sastra, karya sastra tanpa politik seakan terasa “mentah.” Dalam bentuk yang ideal, drama politik berisi ketegangan internal, yaitu ketegangan perilaku dan perasaan seorang tokoh, di samping itu harus mengisyaratkan ideologi modern. Ideologi umumnya bersifat abstrak dalam pikiran tokoh. Konflik dan kekerasan dalam drama Mangir mampu memikat pembaca, karena drama itulah politik dan ideologi ditampilkan sekaligus dipertahankan, serta gagasan tentang keterlibatan sastra dan pengarangnya juga merupakan alegori yang ironis, yang dimaksudkan sebagai sindiran terhadap konflik antarpenguasa. The research aims to describe the illustration of politic, ideology, and strife o

Kakawin Nāgara K.rtagama sebagai Model Penulisan Sastra Sejarah Masa Keemasan Majapahit

Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Kakawin Dēśa Warņnana athawi Nāgara K.rtagama: Masa Keemasan Majapahit merupakan karya sastra sejarah gubahan Mpu Prapanca, pujangga besar di masa kejayaan Kerajaan Majapahit sekitar 700 tahun yang lalu. Kakawin Nāgara K.rtagama hancur bersama runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Namun, kemungkinan ada yang sempat menyelamatkan ke Bali, disalin di Desa Kamalasana dan salinannya disimpan di Gria Pidada, Karangasem, Bali. Selain itu, salinan satunya ada di Puri Cakra Nagara, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat pasukan Belanda menyerbu Lombok tahun 1894 ditemukanlah naskah tersebut dan diberi catatan oleh C.C. Berg menjadi Nāgara K.rtagama. Sesuai dengan etimologi istilahnya, aturan-aturan pembaitan atau metrum kakawin merupakan adaptasi metrum kawya (puisi India). Para kawi ‘penyair’ (Jawa kuno) memiliki sanggit ‘kreativitas’ untuk mengembangkan kakawin sebagai tradisi. Aturan metrum tersebut berupa 1) jumlah suku kata tiap baris yang cenderung sam

Novel Roro Mendut, Centhini, dan Madam Kalinyamat: Kelokalan Jawa dalam Narasi Sejarah Versi Kaum Minoritas

Puji Retno Hardiningtyas Abstrak Dalam sejarah pemikiran dan polemik kebudayaan yang panjang di masa lalu, ternyata telah begitu jauh bersinggungan dengan sisi sensitif nasionalisme dan kejatidirian kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa.Salah satunya terwujud pada sastra yang memperlihatkan bentuk struktural dari situasi historis, yaitu novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, Centhini karya Sunardian Wirodono, dan Madam Kalinyamat karya Zhaenal Fanani. Dalam konteks itu, ketiga novel tersebut merupakan novel sejarah yang bersumber dari Babad Tanah Jawi (Roro Mendut), Babad Tanah Jawi dan Babad Demak (Madam Kalinyamat), dan Serat Centhini (Centhini).Konklusi harapan besar dari komitmen sejarah membuka pemahaman bagi pembaca awam sebab budayanya dapat mempertahankan kelestarian ‘seperangkat mitologi’ penuh daya pengaruh yang dapat menyusup ke dalam liku masyarakat Jawa. Unsur-unsur sejarah ditunjukkan dengan memunculkan tokoh-tokoh—yang berdasar sumber lain diakui sebagai pel